
KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polri saat demonstrasi di depan Gedung DPR pada 28 Agustus 2025, bukan sekadar insiden biasa. Kontras menduga ada unsur kesengajaan dalam tindakan aparat yang dinilai berlebihan.
Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra menjelaskan pada 28 Agustus sejak pukul 10.00 WIB, ribuan buruh dari 37 serikat menggelar aksi di dua lokasi, yakni Senayan dan Patung Kuda.
“Sejak siang hari, eskalasi semakin tinggi. Sekitar pukul 15.10, kepolisian mulai menggunakan water cannon dan gas air mata secara eksesif untuk memukul mundur massa. Padahal massa tetap bertahan dan tidak melakukan tindakan anarkis,” ujar Dimas dalam konferensi pers di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu (10/9).
Menurut Dimas, sekitar pukul 16.56, pasukan Brimob membentuk formasi huruf U di Jalan Pejompongan Raya dengan kendaraan taktis rantis Rimueng berada di belakang mereka.
Menurut hasil investigasi Kontras, rantis tersebut awalnya berhenti di kawasan Pejompongan sekitar pukul 19.27. Kendaraan itu kata Dimas, mundur sekitar tiga meter sebelum kembali maju dengan kecepatan tinggi untuk menghalau massa.
“Sebelum rantis bergerak, Brimob sudah menembakkan gas air mata. Pertanyaan besar bagi kami, kalau gas air mata sudah digunakan untuk mengurai massa, mengapa masih ada penggunaan rantis yang justru membahayakan nyawa warga?,” tegas Dimas.
Ia menilai tindakan itu bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan keputusan sadar dan ada unsur kesengajaan yang diambil aparat.
“Ada unsur kesengajaan dan kesadaran penuh dalam penggunaan kendaraan taktis itu. Ini tindakan yang jelas berlebihan dan eksesif,” ucapnya.
Dimas menambahkan, akibat insiden yang menewaskan Affan dan melukai pengemudi ojol lain bernama Umar, reaksi publik pun merebak di berbagai daerah.
“Setelah peristiwa itu, muncul aksi protes di Mako Brimob Kwitang hingga merembet ke sejumlah daerah. Itu adalah bentuk respon masyarakat terhadap brutalitas aparat,” ungkapnya.
Kontras juga menegaskan bahwa peristiwa kematian Affan Kurniawan harus diusut tuntas dan tidak boleh berhenti di level etik.
“Kita bicara soal nyawa manusia yang hilang. Negara wajib memastikan akuntabilitas penuh aparat yang terlibat,” tandasnya. (Dev)
Mnta Maaf
Sementara itu, Bripka Rohmat, pengemudi rantis Brimob yang menabrak Affan, menyampaikan permintaan maaf kepada orangtua korban dalam sidang etik pada Kamis (4/9). Ia menekankan insiden tersebut terjadi saat dirinya menjalankan perintah atasan dan tidak memiliki niat agar insiden tabrakan itu terjadi.
"Jiwa kami Tribrata yang Mulia. Jiwa kami Tribrata untuk melindungi, melayani, dan melayani masyarakat, Yang Mulia. Tidak ada niat sedikit pun yang mulia untuk mencederai apalagi sampai menghilangkan nyawa," ujar Rohmat sambil menangis.
Dalam putusan sidang etik, Rohmat dinyatakan melanggar kode etik profesi Polri dan dijatuhi sanksi administratif berupa mutasi dengan status demosi selama tujuh tahun.
Selain Bripka Rohmat, Komandan Batalyon (Danyon) Resimen 4 Korbrimob Polri, Kompol Cosmas Kaju Gae juga dijatuhi sanksi etik pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Namun, belakangan dua anggota Brimon itu resmi mengajukan banding atas sanksi tersebut. (P-4)