Ilustrasi(Antara)
Ancaman intervensi asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional dinilai semakin nyata. Sejumlah tokoh dan pakar pertahanan menyoroti strategi sistematis yang digunakan pihak asing untuk melemahkan industri strategis nasional, seperti industri tembakau dan kelapa sawit, melalui perang narasi dan infiltrasi kebijakan. Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Donny Ermawan mengungkapkan, bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara kini hadir dalam wujud yang lebih modern, yakni melalui Narrative and Legal Warfare (NLW).
"Tujuan dari dua bentuk perang tersebut jelas, memengaruhi opini publik, memanipulasi persepsi, menciptakan polarisasi, hingga mencapai tujuan strategis tertentu yang merugikan kepentingan nasional," ujarnya seperti dikutip pada Kamis (25/9).
Donny menegaskan, sektor perkebunan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 menjadi salah satu sasaran utama intervensi asing. Ia menjelaskan, sektor itu memiliki peran krusial bagi perekonomian nasional, bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang. Komoditas yang termasuk di dalamnya antara lain kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, tembakau, dan berbagai hasil perkebunan lainnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menyoroti peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap dimanfaatkan sebagai alat intervensi asing. "Saya pernah memposisikan bahwa LSM itu bisa menjadi pilar demokrasi. Tapi LSM yang saya inginkan itu adalah LSM yang mandiri," tuturnya.
Ia menyayangkan banyak LSM yang tidak independen, melainkan digerakkan oleh pendanaan dan agenda luar negeri, sehingga sering kali bertentangan dengan kepentingan nasional.
Senada, Guru Besar FHUI Hikmahanto Juwana mengungkapkan, proksi asing bahkan bisa menyusup ke dalam pemerintahan untuk menekan industri strategis nasional. Ia mencontohkan pelemahan industri tembakau melalui perjanjian internasional dan kampanye negatif, termasuk dugaan masuknya agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) secara tidak langsung dalam kebijakan Kementerian Kesehatan.
"Mereka menggunakan proksi. Proksinya siapa? Kementerian kita sendiri. Padahal, industri tembakau dan kelapa sawit memiliki peran vital dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," tuturnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI dan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pertahanan Dave Laksono menyoroti penggunaan perang narasi melalui kanal komunikasi modern yang memanfaatkan isu global untuk melemahkan posisi Indonesia.
"Narasi negatif seringkali diciptakan untuk memecah belah. Kekuatan media dan narasi ini digunakan untuk menyerang lawan-lawan, baik di tingkat domestik maupun global," jelasnya.
Dari perspektif ekonomi pertanian, Guru Besar IPB University Bungaran Saragih memberikan peringatan serius terhadap keberlangsungan sektor pertanian dari hulu hingga hilir. Ia menekankan, sektor agribisnis merupakan satu ekosistem yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu bagian dilemahkan, maka ketahanan pangan dan kedaulatan ekonomi nasional terancam.
"Tanpa ketahanan pangan, kita tidak punya kedaulatan. Kalau kita tidak mau berdaulat, maka 5-10 tahun yang akan datang, sistem pertahanan kita harus diubah," imbuhnya.
Bungaran juga mengingatkan, tanpa proteksi serius terhadap sektor hilir seperti tembakau dan sawit, Indonesia berisiko mengalami deindustrialisasi dan stagnasi ekonomi di angka 5%, jauh dari target pemerintah sebesar 8%. (E-3)


















































