Indonesia Harus Belajar dari Nepal, Jangan hanya Andalkan Aparat dan Blokir Medsos

12 hours ago 5
Indonesia Harus Belajar dari Nepal, Jangan hanya Andalkan Aparat dan Blokir Medsos Warga berkerumun melihat kendaraan bermotor yang terbakar di Kathmandu, Nepal.(AFP/PEDRO PARDO)

GELOMBANG protes yang berakhir ricuh di Nepal dinilai menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Menurut pengajar Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Muhammad Fatahillah, peristiwa itu memperlihatkan rapuhnya fondasi demokrasi sekaligus kesalahan pemerintah dalam merespons aspirasi rakyat.

Ia menjelaskan, Nepal masih tergolong republik muda setelah meninggalkan sistem monarki pada 2008. Namun, proses demokratisasi yang berjalan justru terciderai ketika aksi unjuk rasa damai berubah menjadi kerusuhan, penjarahan, hingga pembakaran.

"Saya kira yang terjadi di Nepal itu, adalah suatu proses yang menjadi bagian dari demokrasi negara itu sendiri. Akan tetapi kemudian, proses itu tercederai ketika demonstrasi atau unjuk rasa yang awalnya bertujuan dengan cara damai kemudian menjadi brutal melakukan penjarahan, perusakan, pembakaran dan aksi-aksi lain," ujarnya saat dihubungi, Minggu (14/9).

Fatahillah menambahkan, kericuhan di Nepal bukan semata dipicu oleh pemblokiran media sosial. Sejak lama, negara itu dibelit masalah korupsi, praktik politik dinasti yang melahirkan fenomena Nepo Kids, kesenjangan sosial, hingga tingginya angka pengangguran. Akibatnya, sekitar 700 ribu warga Nepal setiap tahun terpaksa bekerja di luar negeri.

Puncak kemarahan publik, lanjutnya, muncul ketika pemerintah memblokir 26 platform media sosial. Kebijakan itu justru memantik keterlibatan generasi muda, termasuk para pelajar, dalam gelombang demonstrasi.

"Ruang demokrasi, ruang untuk mengekspresikan diri yang paling tersisa yaitu media sosial justru bukannya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk semacam dialog, justru diblokir yang ini akhirnya memantik demo yang tidak terkendali," ucapnya.

Dari kasus Nepal, Fatahillah menilai Indonesia harus mengambil pelajaran. Pemblokiran media sosial, menurutnya, bukan solusi karena justru berpotensi memperburuk situasi. "Kalau ini dilakukan justru yang timbul bukan meredam kekerasan. Tapi justru bisa sebaliknya, semakin menguatkan kekerasan yang terjadi," tuturnya.

Lebih lanjut, Fatahillah mengingatkan bahwa mengandalkan kekuatan aparat semata juga keliru. Pemerintah, kata dia, sebaiknya membuka ruang dialog, menjalankan agenda sesuai aspirasi publik, dan menjaga etika di media sosial. 

"Kalau dalam konteks Nepal itu ada istilah Nepo Kids. Saya kira ini ada sejumlah kesamaan dengan yang terjadi di Indonesia," katanya.

Ia menambahkan, pemerintah tidak perlu alergi dengan media sosial. Menurutnya, platform digital justru bisa dimanfaatkan sebagai sarana berdialog dengan masyarakat. 

"Jadi tidak lagi eranya media sosial itu sebagai ajang untuk propaganda, tetapi media sosial lebih daripada suatu media penerangan, itu juga adalah media untuk berdialog dengan masyarakat," ujarnya. (P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |