
WAKIL Direktur Imparsial, Ardi Manto mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian sebagai respons terhadap tuntutan publik yang disuarakan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) dalam dialog terbuka di Istana Kepresidenan.
“Saya mengapresiasi Gerakan Nurani Bangsa yang telah ikut menyuarakan tuntutan publik terkait reformasi kepolisian hingga akhirnya Presiden merespons secara positif,” ujar Ardi saat dikonfirmasi Media Indonesia, Jumat (12/9).
Ardi mengingatkan agar jangan sampai rencana tersebut kembali tersandera oleh kepentingan politik. Menurutnya, salah satu penyebab mandeknya reformasi kepolisian selama ini adalah adanya intervensi politik yang terlalu jauh terhadap institusi Polri.
“Jika Presiden memang berencana membentuk tim percepatan reformasi Polri, maka tim tersebut harus diisi oleh para pakar yang independen,” tegasnya.
Ardi menilai salah satu pekerjaan rumah utama dalam reformasi Polri adalah mengubah budaya kerja kepolisian yang masih membawa warisan militeristik ala Orde Baru. Padahal, Polri sebenarnya sudah memiliki Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip-prinsip HAM dalam kerja kepolisian.
“Pembenahan terhadap budaya kepolisian ini tentu tidak bisa dilakukan secara cepat, tetapi harus bersifat berkelanjutan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memisahkan sistem pendidikan di kepolisian dari TNI. Sedikit demi sedikit ini akan dapat mengikis budaya militerisme di kepolisian,” jelas Ardi.
Selain reformasi budaya, Ardi juga menyoroti praktik kepolisian dalam penanganan unjuk rasa dalam demonstrasi maupun tindak kriminal lainnya.
Ia mendorong agar setiap aparat yang bertugas di lapangan dilengkapi dengan kamera tubuh (bodycam) untuk mencegah tindakan represif yang berlebihan.
“Bodycam dapat membatasi anggota kepolisian dari melakukan tindak kekerasan terhadap massa demonstran atau menggunakan kekerasan berlebih dalam menangani kejahatan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya evaluasi penggunaan gas air mata serta kendaraan taktis (rantis) dalam menangani aksi massa agar lebih humanis.
“Gas air mata maupun rantis seharusnya hanya bisa digunakan dalam situasi yang sangat mendesak, dengan tetap menghormati prinsip hak asasi manusia,” pungkasnya. (Dev/P-2)