
PENELITI Senior Imparsial & Ketua Centra Initiative Al Araf menilai masuknya militer ke ranah sipil semakin diperkuat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia mengidentifikasi enam bentuk rekonsolidasi militer yang dilakukan pemerintah untuk memperkuat posisi dan kewenangan TNI di luar fungsi pertahanan.
Menurutnya, rekonsolidasi pertama terjadi di bidang regulasi. Ia menyoroti revisi Undang-Undang TNI yang kini menjadi UU Nomor 32 Tahun 2025.
“Rekonsolidasi regulasi dilakukan dengan membuat aturan yang memberikan ruang bagi militer untuk lebih fleksibel masuk ke wilayah sipil. Di dalam UU TNI yang baru, militer bisa duduk di jabatan sipil dan menjalankan operasi selain perang tanpa indikator yang jelas. Ini memberikan cek kosong bagi militer,” kata Al Araf, Sabtu (13/9).
Kedua, lanjut dia, adalah rekonsolidasi struktur dengan pembentukan berbagai komando daerah militer (Kodam) dan batalyon baru, termasuk 100 batalyon pangan.
“Ini justru menambah beban berat di tubuh TNI. Anggaran pertahanan selama ini sudah terbebani 60-70% untuk gaji dan operasional, hanya 20-30% untuk alutsista. Dengan struktur yang makin gemuk, upaya modernisasi militer menuju profesional akan semakin sulit,” jelasnya.
Selain itu, Al Araf menjelaskan poin ketiga, yaitu rekonsolidasi perang, di mana TNI dilibatkan terlalu jauh dalam operasi non-militer. “Militer kini ikut mengurusi pangan, menghadapi demonstrasi, hingga membantu kejaksaan. Tugas-tugas semacam ini membuat fungsi pertahanan terdistorsi,” ujarnya.
Ia juga menyebut rekonsolidasi politik keempat, yakni dengan memberi ruang kepada perwira aktif menduduki jabatan sipil. “Kita tahu banyak militer aktif yang kini duduk di jabatan sipil. Ini bagian dari dwifungsi yang kembali dihidupkan,” katanya.
Lebih lanjut, Al Araf menekankan bahwa rekonsolidasi militer juga terjadi di sektor ekonomi dengan adanya keterlibatan militer dalam sektor ekonomi dan sumber daya alam. “Pernyataan Menteri Pertahanan yang akan mengurusi sumber daya alam bisa membuka potensi kembalinya bisnis militer seperti di masa Orde Baru.”
Dia juga menekankan telah terjadi rekonsolidasi publik. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari peran TNI yang kini berupaya menggalang dukungan publik, termasuk masuk ke ruang-ruang sipil. Ia mencontohkan peristiwa demonstrasi mahasiswa di depan markas polda baru-baru ini.
“Mahasiswa sudah bijak ketika menolak keterlibatan militer dalam aksi demonstrasi. Itu menunjukkan kesadaran bahwa militer harus kembali ke barak, menjadi alat pertahanan negara, bukan aktor dalam dinamika sipil,” tegasnya.
Atas dasar itu, Al Araf menekankan bahwa enam bentuk rekonsolidasi ini menjadi tanda bahwa TNI telah diberi ruang yang terlalu luas tanpa pengaturan yang jelas. Ia menyebut hal tersebut berdampak buruk bagi kehidupan demokrasi.
“Tanpa rule of engagement yang ketat, ini berbahaya bagi demokrasi karena militer bisa masuk terlalu jauh ke ranah sipil,” pungkasnya. (Dev/P-2)