
PEMERINTAH Provinsi Bali resmi mengumumkan moratorium pembangunan hotel di vila serta seluruh infrastruktur lainnya di lahan produktif dan wilayah resapan air. Keputusan ini terkait pembangunan hotel dan vila atau yang sejenisnya dengan tujuan komersial atau bisnis.
Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, kebijakan moratorium alih fungsi lahan produktif untuk fasilitas komersial sebagai langkah strategis pascabanjir besar yang menewaskan 18 orang di 'Pulau Dewata' dan yang masih dalam proses pencarian sebanyak 4 orang.
Kebijakan tersebut diputuskan seusai rapat gabungan bersama Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, Bupati Badung, Wali Kota Denpasar, serta Forkopimda Bali, di Gedung Kerthasabha, Jayasabha, Denpasar, Sabtu (14/9).
Usai pertemuan tersebut, Koster langsung ambil langkah cepat dengan mengumumkan moratorium pembangunan hotel, vila, restoran dan sejenisnya untuk tujuan komersial di lahan produktif.
“Sesuai Haluan 100 Tahun Bali, mulai 2025 tidak boleh lagi ada alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan komersial seperti hotel dan restoran. Instruksi telah saya berikan kepada bupati dan wali kota. Setelah penanganan banjir selesai, kita akan kumpul kembali untuk memastikan tidak ada izin baru yang melanggar kebijakan ini,” kata Koster, Senin (15/9).
Dalam pertemuan sebelumnya, Hanif menyoroti kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung yang hanya menyisakan 1.500 hektare tutupan hutan dari total 49.500 hektare atau sekitar 3%. Padahal, secara ekologis, minimal 30% tutupan pohon diperlukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
“DAS Ayung sangat vital karena di bawahnya terdapat Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Jika hanya tersisa 3%, jelas kapasitasnya untuk menahan curah hujan ekstrem sangat rendah,” ujar Hanif.
Ia menambahkan, sejak 2015 hingga 2024, Bali telah kehilangan 459 hektare hutan akibat konversi menjadi lahan non-hutan. Angka ini relatif kecil dibanding provinsi lain, namun untuk Bali sangat signifikan karena dampaknya langsung terasa terhadap daya dukung lingkungan.
Hanif pun mendukung penuh kebijakan Koster menghentikan alih fungsi lahan. Ia menegaskan, Bali harus dijaga secara ketat karena menjadi perhatian dunia. “Bali ini tidak boleh sembarangan. Tata ruangnya harus dikaji ulang, karena posisinya sudah sangat rawan terhadap bencana hidrometeorologi,” kata Hanif.
Hanif juga memastikan tim Kementerian LH akan turun bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengevaluasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tata ruang Bali.
Adapun Koster menekankan pentingnya momentum banjir kali ini sebagai pelajaran berharga agar seluruh pihak memiliki tanggung jawab menjaga alam Bali. “Sungai adalah sumber kehidupan, dan ekosistem Bali harus kita jaga demi generasi yang akan datang,” katanya.
Pemerintah Provinsi Bali bersama pemerintah kabupaten/kota akan melakukan reforestasi, revegetasi, serta evaluasi menyeluruh terhadap tata ruang melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Selain itu, sampah bencana yang mencapai 210 ton akan segera ditangani di TPA Suwung. Presiden Prabowo Subianto juga telah memerintahkan percepatan pembangunan fasilitas waste-to-energy (WTE), meskipun target penyelesaiannya membutuhkan waktu 1,5 hingga 2 tahun.
BALI TETAP AMAN
Meski dilanda banjir, Koster memastikan kondisi Bali tetap aman dan kondusif. Aktivitas pariwisata berjalan normal tanpa ada pembatalan kunjungan wisatawan asing. Data terkini menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara tetap stabil pada kisaran 21.000–22.000 orang per hari.
Untuk pemulihan ekonomi masyarakat, pasar-pasar tradisional yang terdampak, seperti Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, segera dibersihkan agar pedagang bisa kembali beraktivitas. Ganti rugi kerusakan kios akan ditanggung APBD provinsi dan kota Denpasar, sementara kerusakan rumah warga akan ditangani oleh BNPB.
“Dengan dukungan pemerintah pusat dan daerah, kami pastikan penanganan pasca banjir tuntas minggu ini. Bali sudah aman, dan seluruh aktivitas masyarakat maupun wisatawan kembali normal,” pungkas Koster. (OL/P-2)