ICW Ungkap Sejumlah Isu yang Wajib Dibahas dalam RUU Perampasan Aset

2 hours ago 2
ICW Ungkap Sejumlah Isu yang Wajib Dibahas dalam RUU Perampasan Aset Ilustrasi.(MI)

KEPALA Divisi Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengungkap sejumlah isu yang wajib dibahas dalam RUU Perampasan Aset. Pertama, kata Wana, ialah terkait kualifikasi aparat penegak hukum dan lembaga pengelola aset.

Ia mengungkapkan kewenangan Kejaksaan sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan. Sebab, Kejaksaan memiliki kewenangan yang terlalu luas dalam hal pengelolaan aset, termasuk dalam penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan dan pengembalian. 

"Perlu ada jaminan pengawasan pengelolaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan agar nilai aset tidak berubah terlalu drastis," kata Wana melalui keterangannya, Kamis (11/9).

Isu yang kedua ialah aturan mengenai unexplained wealth order. Wana menjelaskan unexplained wealth atau harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya merupakan konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal. 

Ia mengatakan jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi dari pendapatan seharusnya dan tidak dapat dijelaskan asal dari harta tersebut, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana, misalnya suap atau gratifikasi.

Wana mengatakan KPK sudah memiliki instrumen LHKPN yang dapat dijadikan sebagai dasar pengenaan pengayaan ilegal. 

"Unexplained wealth penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi," katanya.

Ketiga ialah threshold jumlah aset yang dapat dirampas. Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih. Wana mengatakan batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan kondisi inflasi dan nilai ekonomis.

Isu keempat ialah mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa. Wana mengatakan RUU Perampasan Aset berkaitan dengan upaya paksa. Meskipun RUU Perampasan Aset tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelakunya, namun terhadap aset yang diduga hasil tindak pidana penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan. 

Kedua hal ini merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang akan membatasi hak seseorang. Oleh sebab itu, mekanisme upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. 

"Mekanisme pengawasan juga harus diperhatikan. Misalnya dengan menggunakan sistem hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan agar memastikan pelindungan hak warga negara," katanya.

Isu terakhir ialah sistem pembuktian dalam RUU Perampasan Aset. Model pembuktian yang dikenal dalam non-conviction based asset forfeiture adalah pembuktian yang diadopsi dari hukum acara perdata. Maka, kata Wana, perlu ditegaskan bahwa RUU Perampasan Aset mengadopsi sistem pembuktian terbalik.

"Karena bebannya bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa, maka perlu ada mekanisme untuk memastikan jika secara nyata harta tersebut merupakan kepunyaan sah milik tersangka atau terdakwa," katanya.

Wana menjelaskan kelima tersebut tidak hanya terbatas pada substansi yang ada di dalam RUU Perampasan Aset, namun juga diatur dalam RKUHAP. Maka dari itu, ia menilai RUU Perampasan Aset dan RKUHAP harus selaras dengan tujuan pemulihan aset tindak pidana. (Faj/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |