
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal mendorong adanya perubahan fundamental dalam sistem pemilu Indonesia melalui kodifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Salah satu usulan utama adalah penurunan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari 4% menjadi 1%. “Menurunkan ambang batas parlemen ke angka 1% adalah langkah penting untuk menciptakan proporsionalitas pemilu yang lebih baik,” ujar Haykal dalam konferensi pers di Kantor ICW seperti dikutip pada Jumat (5/9).
Menurut Haykal, sistem yang berlaku saat ini menyebabkan suara rakyat menjadi sia-sia jika partai yang mereka pilih gagal melewati ambang batas 4%.
“Contohnya PPP, meskipun memperoleh kursi di DPR, karena tidak lolos ambang batas 4%, mereka tidak diakui sebagai partai parlemen. Artinya, suara pemilih mereka hilang begitu saja,” jelas Haykal.
Haykal menilai dengan ambang batas 1%, partai-partai kecil yang berhasil mendapatkan minimal satu kursi di DPR tetap bisa diakui secara sah sebagai partai parlemen. Ini, kata Haykal, akan mendorong representasi yang lebih luas dan meningkatkan keseimbangan dalam pengambilan kebijakan.
“Kalau usulan ini diakomodasi, maka parlemen akan lebih variatif, ada partai-partai besar yang dominan, tapi juga ada partai kecil yang bisa menciptakan dinamika dan perimbangan yang lebih sehat dalam pengambilan keputusan,” tukasnya.
Ia juga menyinggung soal dominasi suara fraksi dalam proses legislasi yang selama ini menciptakan keseragaman pendapat di DPR dan membuat pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah.
“Selama ini, fraksi-fraksi di DPR cenderung satu suara. Dengan masuknya partai-partai kecil, terutama yang hanya punya satu atau dua kursi, kita bisa menghadirkan lebih banyak perbedaan pandangan dan kualitas perdebatan publik yang lebih baik,” tegas Haykal.
Selain soal ambang batas, Haykal juga mengusulkan penggunaan sistem pemilu campuran, yakni antara proporsional tertutup di tingkat provinsi dan Sistem Terbuka Terbatas Pilihan (STTP) di tingkat daerah pemilihan.
“Dengan sistem campuran ini, partai bisa mengusung kader populer untuk bertarung di daerah, tapi juga tetap bisa memprioritaskan kader-kader berkualitas yang dipercaya membawa aspirasi partai melalui proporsional tertutup,” terangnya.
Menurut haykal, sistem ini dapat meminimalkan praktik politik uang dan mendorong tanggung jawab partai politik terhadap kadernya.
“Kalau sekarang, calon legislatif justru berkompetisi antar sesama kader dalam satu partai. Tapi dalam sistem campuran, partai akan punya peran lebih besar dalam mengkampanyekan calon mereka, sehingga ketika ada masalah, kita bisa langsung meminta pertanggungjawaban partai, bukan hanya individu caleg-nya,” jelas Haykal.(P-1)