Gubernur DIY Sri Sultan HB X(Dok Pemprov DIY)
GUBERNUR DIY, Sri Sultan HB X mengatakan, batik adalah bahasa estetik, yang ditulis dengan lilin dan warna, tetapi sesungguhnya ia dibaca sebagai peradaban. "Sejak dunia mengakui batik, sebagai warisan budaya tak benda, kita sesungguhnya sedang diberi mandat: menjaga legasi “adi luhung”, sekaligus menyiapkan inovasi, agar batik tak hanya lestari, tetapi juga relevan, dan berdaya saing di panggung global," kata Sri Sultan saat memberikan sambutan dalam Seminar Jogjakarta International Batik Bienalle, di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, Kamis (2/10).
Saat ini, kata Sri Sultan, kita berhadapan dengan realitas: harga bahan baku batik yang naik, regenerasi pengrajin berjalan lamban, “batik printing” yang masif membanjiri pasar, dan digitalisasi yang belum sepenuhnya kita manfaatkan. Tantangan ini, merefleksikan dialektika antara budaya dan logika pasar. Maka jawabannya bukan sekadar teknis, melainkan lompatan filosofis, yang diramu dengan pendekatan teknokratis, dan dibumikan dalam semangat populis.
Batik memiliki makna filosofis, sebab batik adalah simbol eksistensi. Batik juga merupakan wujud tekhnokratis, sebab batik harus masuk ke lanskap inovasi dan data.
Di sisi lain batik juga memiliki nilai populis, sebab batik akan tetap hidup bila dekat dengan rakyat, dipakai dengan bangga, dan memberi nilai tambah ekonomi, bagi jutaan ekosistem pengrajin.
"Kita perlu berani melompat dengan inovasi. Dalam produksi, langkah-langkah transformatif harus digerakkan: mencipta produk baru, dan melakukan diversifikasi motif, agar batik tak stagnan, dan menjelma menjadi karya kontemporer yang menembus gen-Z," kata Sri Sultan.
Sri Sultan juga mendorong penggunaan pewarna alami yang ramah lingkungan, membangun aliansi strategis dengan pemasok bahan baku, mengadopsi teknologi modern tanpa kehilangan aura seni batik, serta menghadirkan training: untuk melahirkan generasi baru perajin, yang adaptif sekaligus kreatif.
"Dalam pemasaran, kita harus agresif mengekspansi ekosistem digital. “Marketplace” dan “e-commerce” adalah “new runway” bagi batik kita," kata Sri Sultan.
Komunikasi dengan konsumen harus dipersonalisasi sehingga setiap pembelian batik terasa seperti “cultural movement”. Eksposur di pameran internasional harus ditingkatkan, kolaborasi dengan eksportir diperdalam. Satu hal penting, tegas Sri Sultan, menegaskan kepada publik bahwa batik printing hanyalah produk industri, bukan “craftsmanship” bernilai filosofis.
Dalam sistem pendukung, pesan Sri Sultan, kita wajib membangun fondasi ekosistem yang solid. Akses pembiayaan harus lebih inklusif, kolaborasi dengan lembaga keuangan diperkuat, dan yang tak kalah penting: pengembangan database batik nasional yang berbasis daring. Data adalah “the new oil”. Dengan data yang akurat, kebijakan kita akan lebih presisi, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Apabila produksi, pemasaran, dan sistem pendukung ini dijalankan secara sinergis, batik tidak hanya hadir sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai strategi nasional. Batik akan menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Batik adalah simponi identitas bangsa. "Motif yang kita kenakan, adalah filosofi yang kita hidupi, dan pada saat yang sama, mesin penggerak kesejahteraan rakyat," terang Sri Sultan.
Untuk itu, seminar ini menjadi momentum untuk menguatkan inovasi dan kolaborasi. Di mana pemerintah berperan menciptakan regulasi yang adaptif dan berpihak; akademisi menghadirkan riset, inovasi, dan dokumentasi pengetahuan; dunia usaha memberikan investasi, kreativitas, serta akses pasar; dan masyarakat, menjaga batik sebagai “living heritage” yang hidup dalam keseharian.
Dari Yogyakarta, pesan Sri Sultan, batik akan terus kita persembahkan untuk Indonesia. Dari Indonesia, batik akan terus kita persembahkan untuk dunia.
"Dengan demikian, batik tetap menjadi mahakarya peradaban, yang mempersatukan tradisi dengan modernitas, serta memberi makna bagi kehidupan," tutup Sri Sultan. (H-2)


















































