Harga Pangan Naik karena MBG, Kelas Pekerja Terhimpit

4 hours ago 1
Harga Pangan Naik karena MBG, Kelas Pekerja Terhimpit Pekerja memasukkan telur ayam ke dalam rak di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara(ANTARA FOTO/Andry Denisah)

ANGGOTA Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai pemerintah belum siap secara sistem untuk mengantisipasi dampak rantai pasok dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Akibat lemahnya perencanaan, harga bahan pangan pokok seperti ayam dan telur melonjak, menekan daya beli masyarakat, terutama kelas pekerja dan keluarga berpenghasilan tidak tetap. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi pangan bulan Oktober mencapai 0,28%, dengan salah satu komoditas penyumbang inflasi yakni telur ayam ras (4,43%) dan daging ayam ras (1,13%). Pemerintah beralasan lonjakan ini akibat peningkatan permintaan bahan pangan dari program MBG. Namun menurut Edy, justru di sinilah letak persoalannya. 

"Program MBG mestinya disertai perhitungan matang terhadap kebutuhan bahan baku di setiap daerah. Setiap Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) berdiri berarti ada tambahan kebutuhan ayam, telur, ikan, sayur, dan buah. Jumlahnya bisa dihitung. Tapi ketika pemerintah tidak menyiapkan itu, dampaknya adalah kekurangan pasokan dan harga yang melambung," kata Eddy, Selasa (4/11).

Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan, rantai pasok pangan adalah urat nadi keberhasilan MBG. Karena itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci. 

“Pemerintah pusat perlu melibatkan pemda secara aktif untuk menggerakkan petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan lokal. Jangan sampai bahan baku justru didatangkan dari luar daerah atau bahkan impor,” ujarnya.

Sebagai langkah strategis, Edy mendorong pemerintah untuk memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) agar petani dan peternak kecil dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Dengan pinjaman lunak ini, maka diharapkan petani hingga nelayan dapat memanfaatkan untuk meningkatkan produksinya. 

“Apalagi Kementerian Keuangan telah mengatur kebijakan pendistribusian dana mengendap di BI sekitar Rp200 triliun. Dana sebesar itu bisa diarahkan untuk memperkuat ekonomi di sektor pangan, bukan sekadar menunggu intervensi pasar,” ucapnya.

Selain itu, pemda juga menjembatani petani, nelayan, peternak, dan pembudidaya ikan dengan SPPG. Sehingga hasil panen mereka bisa terserap. Selain itu tidak lupa bagi peternak hewan harus difasilitasi penerbitan nomor kontrol veteriner (NKV) agar menjamin higiene dan sanitasi. 

"Jika ini dijalankan maka perputaran ekonomi akan berjalan baik. Program MBG akan dirasakan dampak ekonominya," ucapnya.

Selain itu, Edy mengkritisi pernyataan pemerintah yang menyebut kenaikan harga ayam dan telur sebagai tanda keberhasilan MBG. Menurutnya ini adalah logika yang keliru. 

“Keberhasilan program sosial tidak bisa diukur dari naiknya harga pangan. Justru sebaliknya, indikator keberhasilan adalah MBG dapat dirasakan oleh penerima manfaat dengan aman dan harga tetap stabil. Kalau rakyat kesulitan membeli telur, itu artinya ada masalah serius dalam desain rantai pasoknya,” ucapnya. 

Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang memiliki 125 Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG). Untuk memenuhi kebutuhan telur di wilayah itu dibutuhkan sekitar 500.000 ekor ayam petelur, sementara peternak lokal hanya mampu menyediakan 200.000 ekor. 

Kekurangan 300.000 ekor tersebut membuat pasokan harus didatangkan dari kabupaten lain, menaikkan biaya distribusi, dan mempersempit ketersediaan telur di daerah asal. Belum lagi bicara kebutuhan ikan, sayur, atau buah. (Iam/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |