Warga Palestina antre menerima jatah makanan dari dapur amal di Nuseirat, Jalur Gaza tengah, Selasa (30/9) waktu setempat.(AFP)
PARA pejabat Hamas menginginkan perubahan terhadap sejumlah klausul dalam proposal perdamaian Jalur Gaza, Palestina, yang diajukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Informasi tersebut disampaikan seorang sumber Palestina yang dekat dengan pimpinan Hamas kepada AFP, kemarin.
Menurut sumber tersebut, delegasi Hamas menggelar pembahasan pada Selasa (30/9) bersama perwakilan Turki, Mesir, dan Qatar di Doha. Kelompok itu membutuhkan waktu paling lama dua atau tiga hari untuk memberikan tanggapan resmi. Sumber tersebut meminta identitasnya dirahasiakan karena sensitifnya isu yang dibahas.
"Hamas ingin mengubah beberapa klausul seperti perlucutan senjata dan pengusiran Hamas dan kader-kader faksinya," kata sumber Palestina itu. Hamas juga meminta jaminan internasional untuk penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza serta memastikan tidak ada upaya pembunuhan terhadap para kadernya, baik di dalam maupun luar wilayah Palestina.
Selain itu, sumber tersebut menyebut bahwa Hamas masih menjalin komunikasi dengan pihak-pihak regional dan Arab lain meski tidak merinci lebih lanjut.
Sumber kedua yang mengetahui proses negosiasi mengungkapkan ada perbedaan pandangan di tubuh Hamas terkait rencana tersebut. "Yang pertama mendukung persetujuan tanpa syarat karena yang penting adalah gencatan senjata dijamin oleh Trump dengan syarat para mediator menjamin implementasi rencana tersebut oleh Israel," sebutnya.
Sebagian bermasalah
Namun, sebagian lain menilai isi proposal masih bermasalah. "Mereka menolak perlucutan senjata dan penarikan setiap warga negara Palestina dari Gaza," lanjutnya.
Menurutnya, kelompok ini mendukung perjanjian bersyarat dengan klarifikasi yang mempertimbangkan tuntutan Hamas dan faksi-faksi perlawanan agar pendudukan Jalur Gaza tidak dilegitimasi sementara perlawanan dikriminalisasi. "Beberapa faksi menolak rencana tersebut, tetapi diskusi masih berlangsung dan semua akan segera menjadi lebih jelas," paparnya.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera pada Selasa, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menyatakan bahwa sejumlah bagian dari proposal perdamaian Gaza masih memerlukan penjelasan. "Masalah penarikan (Israel), tentu saja, memerlukan klarifikasi dan upaya. Saya yakin ini harus dibahas secara rinci. Ini terutama merupakan tugas pihak Palestina, bersama dengan pihak Israel," pungkasnya.
Seorang tokoh senior Hamas mengatakan, kemarin, kepada BBC bahwa kelompok tersebut kemungkinan akan menolak rencana perdamaian Donald Trump untuk Gaza. Dalihnya, rencana tersebut melayani kepentingan Israel dan mengabaikan kepentingan rakyat Palestina.
Tokoh tersebut mengatakan bahwa Hamas kemungkinan besar tidak akan setuju untuk melucuti senjata dan menyerahkan senjata mereka sebagai syarat utama dari rencana Trump. Hamas juga disebut-sebut keberatan dengan pengerahan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) di Gaza yang dipandangnya sebagai bentuk pendudukan baru.
Titik perdebatan
Seorang pejabat senior Palestina yang mengetahui pembicaraan Hamas mengatakan bahwa pembicaraan tersebut melibatkan para pemimpin kelompok tersebut baik di dalam maupun di luar Gaza. Komandan militer kelompok tersebut di wilayah tersebut, Ez al-Din al-Haddad, diyakini bertekad untuk terus berjuang daripada menerima rencana yang ditawarkan.
Tokoh-tokoh Hamas di luar Gaza baru-baru ini terpinggirkan dalam diskusi karena mereka tidak memiliki kendali langsung atas para sandera. Perundingan Hamas, yang diperkirakan berlangsung beberapa hari, juga melibatkan faksi-faksi lain Palestina. Kelompok bersenjata Jihad Islam Palestina (PIJ) menolak rencana tersebut pada hari Selasa.
Bagi Hamas, poin penting yang diperdebatkan yaitu rencana tersebut mengharuskan mereka menyerahkan semua sandera sebagai satu-satunya alat tawar mereka. Meskipun Donald Trump mendukung rencana tersebut, terdapat keraguan bahwa Israel tidak akan melanjutkan operasi militernya setelah menerima para sandera, terutama setelah Israel mencoba membunuh pimpinan Hamas di Doha awal bulan ini yang menentang AS.
Selain itu, peta Gaza yang dibagikan pemerintahan Trump menunjukkan yang tampaknya merupakan zona penyangga yang direncanakan di sepanjang perbatasan selatan Gaza dengan Mesir. Belum jelas bagaimana rencana ini akan dijalankan, tetapi jika Israel terlibat, hal ini kemungkinan besar akan menjadi titik perdebatan.
Namun, menurut seorang sumber kepada CBS News, Selasa, Hamas dan faksi-faksi lain Palestina cenderung menerima rencana Presiden Trump untuk mengakhiri perang di Gaza. Mereka akan menyampaikan tanggapan kelompok tersebut kepada mediator Mesir dan Qatar pada Rabu.
Rakyat menentukan
Otoritas Palestina (PA), yang sebagian mengelola wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel, mengeluarkan pernyataan yang mendukung rencana tersebut. Ini dipublikasikan kantor berita WAFA yang berafiliasi dengan PA.
Dalam pernyataannya, PA menekankan pentingnya kemitraan dengan AS dalam mencapai perdamaian di kawasan tersebut. PA menegaskan kembali komitmennya terhadap reformasi tertentu, termasuk menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Parlemen dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya perang.
Di sisi lain, sejak menyetujui rencana tersebut pada Senin malam, Netanyahu tampaknya menolak beberapa ketentuan yang diuraikan. Dalam video yang dibagikan di X, ia menegaskan bahwa militer Israel akan dapat tetap berada di beberapa bagian Gaza dan akan melawan secara paksa tentang negara Palestina.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan kerangka kerja Trump yang menetapkan penarikan penuh pasukan Israel dan setelah rencana tersebut selesai, mungkin akan ada jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina.
Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Francesca Albanese, menegaskan rakyat Palestina haruslah yang menentukan masa depan mereka sendiri. "Rencana Trump bukanlah solusi, melainkan penghinaan lebih lanjut terhadap hak penentuan nasib sendiri Palestina. Rencana ini akan menggantikan satu pendudukan dengan pendudukan lain, dari Israel hingga AS, dengan memperluas bentuk-bentuk kontrol eksternal atas kehidupan rakyat Palestina."
Menurutnya, definisi masa depan Palestina tidak dapat diserahkan kepada keputusan masing-masing negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Jalannya harus dipandu hukum internasional dan prinsip-prinsip PBB. (Parma Today/I-2)


















































