
PUSARAN ketidakpastian sosial yang terjadi saat ini membuat kita harus merefleksikan kembali makna kesejahteraan. Paradigma pembangunan transkonstruktif menjadi salah satu taeawan merespon ketidakpastian yang terjadi.
Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan dan Politik UGM, Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si, menekankan bahwa ketidakpastian adalah realitas objektif yang hadir pada tiga level sekaligus, yaitu global, nasional, dan lokal.
“Ketidakpastian itu dapat kita lihat pada tiga level," kata dia dalam pidato kunci bertajuk “Merefleksikan Ulang Masyarakat dalam Pusaran Ketidakpastian Sosial” Dies Natalis ke-70 Fisipol UGM.
Pada level global, kita menghadapi perubahan iklim, konflik regional, dan gejolak lintas negara. Pada level nasional, keresahan publik muncul akibat ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pada level lokal, masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi, kerentanan bencana, hingga ancaman gagal panen.
Karena itu, menurutnya, sudah saatnya masyarakat merefleksikan kembali makna kesejahteraan, bukan hanya diukur dari pendapatan atau sumber daya, melainkan dari kemampuan individu menjalani kehidupan yang dianggap berharga.
Refleksi ini, kata dia, menuntun kita pada apa yang disebut sebagai paradigma transkonstruksi. Paradigma ini melampaui kerangka epistemologis yang kerap dikonstruksi oleh kanon pengetahuan dominan.
Selama ini, wacana akademik cenderung terikat pada teori besar yang diwarisi dari tradisi Barat, seakan-akan itu adalah horizon pengetahuan yang tak tergantikan. Padahal, masyarakat kita memiliki pengalaman sosial yang berbeda, yang membutuhkan pembacaan epistemik tersendiri.
Paradigma transkonstruksi mengajak kita membaca ulang keberadaan akademik di tengah masyarakat—bukan hanya mengulang teori lama, melainkan menyusun ulang teori yang berpijak pada pengalaman empiris warga.
Masyarakat tidak bisa hanya dipahami sebagai konsep abstrak atau narasi dari atas. Ia adalah proses interaktif yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Dalam perspektif transkonstruksi, masyarakat bukan hanya imagined community ala Anderson, tetapi juga komunitas yang diwujudkan melalui interaksi nyata, perjuangan, dan aksi kolektif (enacted community).
Dengan kata lain, masyarakat adalah pengalaman yang dialami (lived experience) sekaligus diperjuangkan dalam keseharian. Refleksi ini beririsan dengan teori komunikasi pembangunan.
Transkonstruksi menuntut agar kerangka komunikatif dipraksiskan secara lebih realistis: bukan menunggu terciptanya situasi bicara ideal, tetapi menciptakan ruang-ruang dialog yang meski tidak sempurna, tetap memungkinkan warga berpartisipasi.
Ia mengatakan, pembangunan transkonstruktif tidak bisa berhenti pada paradigma top-down atau bottom-up semata. Ia harus menekankan gotong royong epistemik, ketika setiap aktor duduk bersama untuk merumuskan arah hidup bersama yang strategis dan mendalam.
"Strategis artinya berorientasi pada langkah-langkah taktis yang saling memahami, sementara mendalam berarti menyentuh aspek-aspek holistik yang menempatkan keberlanjutan sebagai tujuan utama," kata dia.
Dalam kerangka transkonstruksi, pendekatan kapabilitas ini mengingatkan kita bahwa pembangunan harus berpijak pada pengakuan terhadap eksistensi warga, pengalaman hidup mereka, dan perjuangan mereka dalam membangun penghidupan.
"Dengan demikian, pembangunan yang berperspektif transkonstruktif bukan hanya upaya teknokratik untuk mengisi bayangan “imagined community,” tetapi gerakan reflektif untuk menjadikan masyarakat sebagai komunitas yang dijalani dan dihidupi," kata dia.
Transkonstruksi merupakan filsafat pembangunan yang lugu sekaligus arif: pembangunan yang mengakui masyarakat sebagai subjek, menghubungkan teori dengan pengalaman, dan menempatkan gotong royong sebagai fondasi dalam menghadapi ketidakpastian zaman. (H-2)