Ilustrasi: sejumlah santri mengikuti karnaval Pentas Seni Tablig Akbar di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat(ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
HARI Santri Nasional 2025 menjadi momen istimewa bagi dunia pesantren. Selain memperingati dedikasi panjang para santri bagi bangsa, tahun ini juga bertepatan dengan peringatan dua abad berdirinya Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, salah satu pesantren tertua dan berpengaruh di Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa menjadi santri adalah bentuk sa’yun syamil, sebuah pergulatan total yang utuh dalam menempuh jalan ilmu, pengabdian, dan perjuangan di jalan Allah.
"Menjadi santri berarti mengabdikan seluruh jiwa dan raga untuk ilmu, kemanusiaan, dan Indonesia. Itulah hakikat santri sejati," kata Gus Yahya dalam keterangannya, Rabu (22/10).
Ia menjelaskan, nilai-nilai dasar santri dirangkum dalam Lima Sila Pancasila Santri, sebagai pedoman moral dan spiritual bagi santri di masa kini.
- Khidmatul ‘Ilm, yang berarti santri berkhidmat kepada ilmu bit ta’allum wat ta’lim wal ‘amal, yakni belajar, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu dalam kehidupan.
- Tazkiyatun Nafs yang berarti santri terus membersihkan jiwanya dari segala hal yang dapat mencemari diri dan amalnya di hadapan Allah SWT.
- Jihad fi Sabilillah, yakni santri harus berjuang di jalan Allah untuk memuliakan kalimat-Nya dan menegakkan nilai-nilai luhur di tengah masyarakat.
- Khidmatu Indonesia, yakni santri harus berbakti kepada Indonesia, rela berkorban demi kemaslahatan bangsa dan negara. Indonesia menjadi pusat perjuangan santri dalam kehidupan bermasyarakat.
- Ikramul Insaniyah yang berarti santri harus memuliakan kemanusiaan karena Allah SWT telah memuliakan manusia.
Gus Yahya juga mengingatkan kembali peran besar santri dalam perjuangan kemerdekaan. Setelah Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari, Rais Akbar PBNU, memfatwakan jihad fi sabilillah menghadapi kedatangan sekutu yang diboncengi NICA, barisan kiai mujahidin segera dibentuk di bawah kepemimpinan nasional KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Barisan tersebut didampingi oleh para ulama pejuang seperti KH. Abbas Buntet (Cirebon), KH. Abdul Halim (Majalengka), KH. Hasan Gipo, serta pasukan komando elit yang dipimpin KH. Abdul Khaliq Hasyim.
"Dengan barisan mujahidin ini, perlawanan santri digerakkan dari seluruh penjuru Nusantara. Laskar-laskar santri bergerak menuju Surabaya untuk bergabung dalam perang sabil, membela proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia," ujar Gus Yahya.
Ia menambahkan, pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada satu kesempatan juga menggambarkan peran sentral santri dalam sejarah bangsa.
"Presiden Prabowo mengatakan, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, namun ujian pertamanya terjadi di Surabaya. Dan yang membuat Indonesia lulus dari ujian itu adalah santri-santri Nahdlatul Ulama," tuturnya.
Gus Yahya pun berpesan dan berharap agar santri Indonesia senantiasa menjaga semangat ilmu, jihad, dan kemanusiaan dalam bingkai cinta tanah air.
"Api proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah kemanusiaan. Barang siapa menghinakan sesama manusia, dia bukan santri. Barang siapa menghinakan santri, dia bukan manusia," pungkasnya. (Fik/M-3)


















































