Petugas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) mengisi makanan ke dalam ompreng Makan Bergizi Gratis (MBG) di SPPG Parung Serab, Ciledug.(Dok. MI/Ramdani)
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) telah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai panduan untuk menjamin keamanan pangan dan mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meskipun pada akhirnya tetap terjadi sejumlah kasus keracunan MBG di beberapa daerah.
Badan Gizi Nasional (BGN) menyebutkan korban keracunan berjumlah 4.711 orang. Sementara Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) telah mencatat ada lebih dari 6.000 korban keracunan MBG.
Dalam kesempatan konferensi pers BGN bersama pakar gizi pada tanggal 26 September 2025, disebutkan bahwa salah satu Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan yang digunakan sebagai panduan untuk menjamin keamanan pangan dan mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dalam pelaksanaan program MBG adalah SOP tentang penerimaan dan penyajian pangan di sekolah.
Pada SOP MBG disebutkan bahwa sebelum dikonsumsi oleh siswa, guru atau penanggungjawab di sekolah melakukan uji organoleptik MBG, yaitu melihat, membau, dan mencicipi makanan sesaat sebelum dikonsumsi siswa.
Bukan Tugas Guru
Menanggapi SOP MBG tentang uji organoleptik tersebut, Ketua Koalisi Barisan Guru Indonesia (Kobar Guru Indonesia) Soeparman Mardjoeki Nahali mengingatkan bahwa tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
“Guru tidak berkompeten untuk melakukan uji organoleptik. Sehingga kalau dipaksakan, apalagi sampai mencicipi makanannya, guru tersebut bisa menjadi orang pertama yang keracunan jika makanan tersebut tidak layak dikonsumsi,” ungkapnya, Rabu (1/10).
Ia juga menjelaskan bahwa guru yang melakukan uji organoleptik MBG akan tetap disalahkan jika sampel paket MBG yang diujinya berbeda kelayakannya dengan paket MBG yang akan didistribusikan kepada murid-muridnya.
“Bisa terjadi, paket MBG yang diujinya layak untuk dikonsumsi. Sementara pada paket yang lainnya terdapat yang tidak layak dikonsumsi. Akibatnya masih ada murid yang bisa keracunan meskipun sudah dilakukan uji organoleptik. Pada kondisi ini guru penguji akan tetap disalahkan sebagai pihak yang tidak akurat melakukan uji organoleptik,” tambah Soeparman.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa uji organoleptik MBG harus dilakukan oleh ahlinya yang didatangkan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dapat memastikan kelayakan semua paket MBG. Sementara guru-guru dapat membantu dengan cara mendistribusikan MBG kepada murid-muridnya agar dikonsumsi sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.
Soeparman juga mengingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya guru mempunyai hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerjanya yang diatur dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
"Hak tersebut mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain. Uji organoleptik adalah aktivitas di luar tugas utama guru yang dapat menimbulkan risiko pada keselamatan dan kesehatan kerja guru. Oleh karena itu aturan tentang uji organoleptik untuk guru dan kepala sekolah harus dihentikan karena bertentangan dengan Undang-Undang Guru,” tegas Soeparman.
Guru Keracunan MBG
Ketua Persatuan Purnabakti Pendidik Indonesia (P3I) Provinsi Jawa Barat, Iwan Hermawan memprotes keras aturan uji organoleptik MBG oleh guru karena sudah terjadi korban keracunan pada seorang guru di kabupaten Cianjur akibat mencicipi makanan yang tidak layak dikonsumsi sebelum didistribusikan kepada anak didiknya.
“P3I protes keras atas SOP tersebut karena sudah ada guru yang menjadi korban. Kami sudah laporkan kepada DPRD Provinsi Jawa Barat agar para siswa dan guru-guru diberikan perlindungan. Kami mendesak Kapolri agar mengusut tuntas kasus keracunan MBG,” tegas Iwan.
Ia juga menghimbau kepada para pejabat untuk ikut mencicipi dan mengonsumsi MBG bersama para murid, agar orangtua, guru dan murid merasa aman dan tidak ragu untuk menerima MBG sebagai program yang memang sangat penting untuk masa depan anak-anak.
“Pejabat jangan hanya memantau dan berfoto ria dengan siswa yang sedang menyantap MBG. Tetapi sekali waktu ikut mencicipi dan mengonsumsi MBG bersama,” tambah Iwan.
Desakan Penghentian MBG
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia Jawa Barat (FAGI Jabar), Agus Setia Mulyadi mendesak pemerintah agar penyediaan MBG oleh dapur SPPG dihentikan sementara untuk dilakukan evaluasi dan investigasi atas kasus keracunan MBG.
“FAGI Jabar meminta kepada Gubernur Jawa Barat agar menghentikan sementara MBG oleh dapur SPPG dan mengalihkan penyediaan MBG langsung kepada orangtua murid. Dengan memberikan tanggung jawab kepada orangtua murid untuk menyediakan MBG bagi anak-anaknya maka dapat dipastikan setiap anak akan membawa MBG yang aman setiap harinya,” ungkap Mulyadi.
Ia juga mengusulkan kepada pemerintah untuk menghitung ulang jumlah penerima manfaat MBG agar tepat sasaran. Sebagaimana niat awal Presiden, maka penerima manfaat MBG semestinya adalah anak-anak dari kalangan keluarga tidak mampu.
“Anak-anak yang berasal dari keluarga mampu sebenarnya relatif sudah tercukupi gizinya. Oleh karena itu MBG seharusnya hanya diberikan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu. Dengan demikian paket MBG yang diterima setiap anak akan lebih besar. Di sisi lain anggaran MBG bisa lebih hemat dan tidak terlalu besar menyedot anggaran pendidikan,” jelas Mulyadi. (H-3)


















































