Demo petani tembakau.(Antara.)
PERLUASAN kawasan tanpa rokok hingga tempat hiburan malam, termasuk hotel, resto, kafe, live music, dan bar yang didorong dalam Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta semakin membebani pelaku usaha di tengah situasi ekonomi yang cukup sulit saat ini.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menuturkan pihaknya meminta pemilik fasilitas maupun penyelenggara acara untuk fokus menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Menurut dia, misalnya di tempat karaoke, maka pemilik tempat karaoke itu yang berkewajiban menyediakan ruangan khusus bagi pengunjung yang ingin merokok.
“Seperti yang saya sampaikan berulang kali, yang diatur itu tempatnya. Misalnya, kalau ada tempat karaoke, ya, di karaokenya yang nggak boleh, tetapi orang berjualan di sana, ya, nggak boleh dilarang,” kata Pramono di kawasan Jakarta Pusat, Senin (29/9).
Pramono juga meminta agar di fasilitas publik lainnya atau lokasi acara tertentu disediakan tempat khusus merokok sehingga asap dari rokok tersebut tidak mengganggu dan menyebar ke masyarakat yang tidak merokok.
“Jadi intinya, semua fasilitas yang memperbolehkan atau mengadakan acara harus menyiapkan tempat untuk merokok secara tertutup, supaya tidak mengganggu yang lainnya,” ujar Pramono.
Terpisah, Berdasarkan survei internal yang dilakukan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta menyebutkan 50 persen dari pelaku usaha mengaku akan terdampak jika Perda ini disahkan.
“Kami sudah buat survey, studi pendapat apabila aturan lama diperbaharui dengan aturan Raperda KTR yang lebih ketat, 50% dari pelaku usaha menilai peraturan ini akan berdampak pada bisnis. Kami pelaku usaha hotel, restoran dan hiburan bukan anti regulasi. Tapi kami mohon jangan dibebani,” ujar Anggota Badan Pengurus Daerah (BPD) PHRI Jakarta Arini Yulianti, melalui keterangannya, dikutip Kamis (2/10).
“Tahun ini kami sudah benar-benar terpuruk. Jangan sampai dengan aturan yang menekan seperti ini, demand bisnis kami semakin turun. Kami khawatir konsumen akan memilih pindah ke kota lain yang regulasinya tidak seketat Jakarta,” tambah Arini.
Untuk diketahui, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PHRI DKI Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, tercatat 96,7% hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian.
Dampaknya, banyak pelaku usaha yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan sekaligus menerapkan berbagai strategi efisiensi.
Adapun industri hotel dan restoran menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja di Jakarta dan menyumbang sekitar 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI.
“Kami mohon pertimbangkan kondisi ini. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah kebijakan KTR yang berimbang. Jangan sampai aturan ini dikebut demi sekadar mengejar indikator kota global tanpa mempertimbangkan dampaknya,” jelas Arini.
Ia melanjutkan, saat ini peraturan yang ada masih minim pengawasan dan belum berjalan optimal.
“(Peraturan) yang sudah ada saja, monitoring dan evaluasinya itu tidak ada. Jadi tidak ada keseragaman compliance untuk peraturannya,” tutup Arini. (Far/P-3)


















































