Google Loloskan Iklan Israel yang Dianggap Misinformasi tentang Kelaparan Gaza

1 day ago 5
Google Loloskan Iklan Israel yang Dianggap Misinformasi tentang Kelaparan Gaza Warga Palestina antre untuk menerima jatah makanan dari dapur amal di Kamp Pengungsi Nuseirat, Jalur Gaza bagian tengah, pada Rabu (15/10), dua hari setelah gencatan senjata mulai berlaku.(AFP)

PADA akhir Agustus, pemantau kelaparan global yang didukung PBB menyatakan bencana kelaparan yang berkembang cepat di wilayah Kota Gaza, Palestina. Kementerian Luar Negeri Israel merilis sejumlah video di YouTube yang membantah temuan tersebut. Video bertanggal 24 Agustus itu menyatakan, "Politisi sinis dan media yang bias berbohong." 

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pun menerbitkan bantahan delapan halaman yang menuduh penilaian kelaparan oleh Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) sebagai inisiatif yang didukung PBB mendistorsi kenyataan dan bergantung pada data bias yang berasal dari Hamas. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yang berkontribusi pada laporan IPC, menyatakan bahwa laporan tersebut disusun dengan protokol yang tepat dan diperiksa netralitasnya.

Bahkan, 27 negara termasuk Australia, Kanada, Jepang, dan sebagian besar Uni Eropa juga mengeluarkan pernyataan bersama yang meminta Israel untuk memfasilitasi banjir bantuan segera guna menghentikan dan membalikkan bencana kelaparan yang terjadi di depan mata.

The Washington Post memeriksa dua video yang diunggah Kementerian Luar Negeri Israel itu yang konon berasal dari Juli dan Agustus. Tayangan menunjukkan makanan tampak berlimpah di Gaza. Saat itu, makanan sedang masuk ke Gaza setelah hampir lima bulan pembatasan Israel tetapi langka dan mahal, menurut tinjauan The Post, kemarin, terhadap sumber asli rekaman tersebut.

Rekaman pasar dalam video 24 Agustus yang mengeklaim ada makanan di Gaza berasal dari Majdi Fathi, seorang fotografer lepas Palestina. Keterangan aslinya untuk rekaman tersebut, yang dicantumkan oleh Getty, menyebutkan tentang makanan yang didokumentasikan itu. "Banyak warga berbondong-bondong membelinya, tetapi karena harga sangat tinggi. sebagian besar warga Palestina di Gaza tidak mampu membeli barang-barang ini."

Fathi, dikutip penyiar Jerman DW pada 31 Juli, mengatakan bahwa video tersebut diambil di suatu pasar di Gaza. "Sayuran dan buah-buahan ini sangat mahal," ujarnya kepada DW. "Mayoritas orang di Gaza tidak mampu membelinya. Saya tidak menemukan hal lain untuk difilmkan di pasar."

Video lain pemerintah Israel, yang diunggah pada 21 Agustus, berisi kumpulan restoran, yang diduga berada di Gaza, menyajikan pizza, calzone, dan es krim. Salah satu restoran tersebut, yang dikonfirmasi The Post sebagai Restoran Hot Dog, tutup pada Mei. 

Namun, restoran tersebut dibuka kembali dengan harga rata-rata yang naik dua kali lipat selama periode enam bulan antara akhir Februari dan awal September. Demikian menurut analisis The Post terhadap harga menu di profil Instagram restoran.

Tiga bahasa

Pemerintah Israel mempromosikan video ini dalam tiga bahasa. Versi bahasa Inggrisnya ditonton lebih dari 7 juta kali hingga terakhir muncul sebagai iklan pada 29 Agustus.

Video itu menjadi bagian dari kampanye berbayar pemerintah Israel di platform Google. Email internal yang ditinjau The Post menyebut bahwa kampanye ini berfokus pada kelaparan terjadi atau tidak di Gaza. Video tercatat dengan unggahan penonton terbanyak di kanal YouTube Kementerian Luar Negeri Israel dan dipromosikan dalam berbagai bahasa, seperti Polandia, Italia, Yunani, dan Jerman.

Menurut email 4 September dan wawancara dengan seorang karyawan Google, yang berbicara dengan syarat anonim untuk melindungi pekerjaannya, kampanye daring tersebut menuai banyak keluhan. Iklan tersebut dituduh menyebarkan misinformasi, termasuk dari berbagai otoritas pemerintah.

Email tersebut dikirim anggota tim Kepercayaan dan Keamanan Google yang memantau dan menegakkan kebijakan konten perusahaan. Staf tersebut menulis bahwa staf hukum, kepercayaan, dan keamanan menetapkan bahwa video-video tersebut tidak melanggar aturan Google yang melarang iklan menampilkan konten berbahaya atau merendahkan, konten mengejutkan, peristiwa sensitif, dan klaim yang tidak dapat diandalkan.

Karyawan diberi tahu bahwa iklan video apa pun di masa mendatang dari pemerintah Israel yang membuat klaim serupa tentang pangan, kelaparan, atau bantuan kemanusiaan di Gaza tidak termasuk dalam cakupan kebijakan tersebut sehingga tidak merupakan pelanggaran. Pemerintah Israel tidak menanggapi permintaan komentar.

Persepsi publik

Juru bicara Google, Michael Aciman, mengatakan dalam pernyataan email bahwa perusahaan memiliki kebijakan yang jelas terkait jenis iklan di platformnya dan pihaknya terus memeriksa kebijakan tersebut berlaku untuk peristiwa terkini. "Jika menemukan iklan yang melanggar kebijakan, kami akan memblokir atau menghapusnya."

Lektor kepala bidang komunikasi di Universitas Pittsburgh, Sam Woolley, mengatakan bahwa platform daring telah menjadi wadah penting bagi negara-negara untuk membentuk persepsi publik. "Pemerintah memahami bahwa miliaran orang menghabiskan waktu di YouTube dan platform media sosial lain. Karena itu, mereka ingin menyampaikan propaganda kepada orang-orang di sana," ujarnya.

Namun, kata Woolley, jika menggunakan platform seperti YouTube untuk menyesatkan pengguna tentang konflik atau krisis besar, pemerintah dapat berisiko tidak hanya melanggar kebijakan platform tersebut tetapi juga hukum Uni Eropa. Surel internal Google yang memberikan lampu hijau untuk iklan Israel tidak menyebutkan otoritas pemerintah yang mengeluhkan video YouTube-nya. 

Langgar aturan

Badan penelitian Polandia, NASK, mengonfirmasi melalui surel bahwa mereka memberi tahu Google bahwa beberapa video-video pemerintah Israel melanggar aturan perusahaan. "Para pakar NASK menyoroti konten yang dimanipulasi atau palsu dalam iklan Google dan video YouTube," demikian pernyataan lembaga tersebut kepada The Post. 

"Menurut Standar Komunitas, konten semacam itu harus dihapus." Google menolak keluhan pemerintah Polandia tentang video-video Israel.

Pada 2023, Google menghapus 30 iklan yang diunggah oleh pemerintah Israel karena menampilkan gambar grafis, setelah Politico melaporkan kampanye pemerintah Israel yang menggunakan foto-foto korban serangan Hamas.

Seorang karyawan Google yang bekerja di divisi Kepercayaan dan Keamanan, yang berbicara dengan syarat anonim untuk melindungi pekerjaannya, mengatakan bahwa industri teknologi itu menarik diri dari pengecekan fakta yang ketat tahun ini, dimulai dengan keputusan Meta untuk memecat para pemeriksa fakta pada Januari. Perubahan ini bertepatan dengan pergeseran perusahaan di industri teknologi dan industri lain yang tampaknya membuat para CEO bergerak untuk lebih berpihak pada Presiden Donald Trump.

"Ini lebih lepas tangan," kata karyawan tersebut. "Selama tidak melakukan sesuatu yang benar-benar buruk dan tidak menyerukan kekerasan, Anda dapat menayangkan iklan Anda." Misinformasi, imbuhnya, hanya dianggap sebagai pelanggaran kebijakan Google jika termasuk dalam kategori campur tangan pemilu atau risiko kesehatan masyarakat.

Tinjauan Google terhadap iklan YouTube Israel dilakukan ketika perusahaan tersebut--seperti para pesaingnya, Amazon dan Microsoft--terus menghadapi protes terhadap hubungan bisnisnya dengan Israel dari sebagian kecil karyawan yang vokal.

Awal bulan ini, kelompok bernama No Tech for Apartheid--beranggotakan pekerja Google dan Amazon serta aktivis lain yang memprotes kontrak cloud Project Nimbus antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan Israel--meluncurkan alat daring yang mendorong masyarakat untuk mengajukan keluhan tentang iklan teks dan YouTube negara tersebut kepada Google. Lebih dari 50.000 keluhan dikirimkan sejauh ini.

Israel menganggarkan setidaknya US$45 juta untuk iklan YouTube tahun ini, menurut dokumen pemerintah yang diunggah daring dan pertama kali dilaporkan Drop Site News. Pemerintah negara tersebut juga beriklan di platform sosial X dan Meta dengan video yang sama.

Selain Israel, pemerintah nasional yang telah beriklan di YouTube antara lain Inggris Raya, Amerika Serikat, dan India. (I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |