
PENGAMAT Politik Internasional Universitas Paramadina sekaligus Ketua Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Pipip A Rifai Hasan, menilai gelombang protes di Nepal bukan sekadar gejolak politik, melainkan vonis moral terhadap para pemimpinnya.
“Yang terjadi di sana, protes massal, kerusuhan, hingga jatuhnya pemerintahan, merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap pengkhianatan elite. Korupsi dibiarkan, janji keadilan dan inklusivitas diabaikan, sementara pemimpin lebih sibuk mempertahankan kekuasaan ketimbang melayani publik,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (14/9).
Menurut Pipip, legitimasi pemerintahan tidak cukup hanya bertumpu pada otoritas hukum, tetapi juga harus disertai kredibilitas moral.
“Ketika politisi menutup mata terhadap akuntabilitas dan kesejahteraan rakyat, mereka kehilangan hak untuk memerintah. Protes rakyat adalah cara untuk memulihkan keseimbangan moral,” tegasnya.
Ia menilai, jatuhnya pemerintahan Nepal merupakan perhitungan etis yang menuntut para pemimpinnya membangun kembali kepercayaan publik. “Integritas, keadilan, dan daya tanggap harus menjadi prioritas. Jika tidak, siklus kerusuhan bisa terulang,” tambah Pipip.
Pipip juga mengingatkan bahwa fenomena serupa bisa terjadi di negara lain, termasuk Indonesia. Ia menyinggung pengalaman Bangladesh, ketika Perdana Menteri Sheikh Hasina digulingkan pada Agustus 2024 dan terpaksa melarikan diri ke India setelah gelombang protes serupa.
“Kita harap kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia. Walaupun sempat terjadi demontrasi disertai kekerasan dan kekacauan akhir Agustus yang lalu," kata Pipip.
"Pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan rakyat dengan kerja yang sungguh-sungguh untuk kemaslahatan umum disertai sikap hidup sederhana dari para pejabat dan membuang jauh-jauh sikap kesombongan kekuasaan," tandas Pipip. (H-2)