Ilustrasi(Dok ANTARA)
LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Langkah itu dinilai sebagai kebijakan yang buta sejarah dan membangkang aturan, sekaligus bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto disebut menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dengan jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi yang panjang. LBH-YLBHI menyoroti sederet tragedi, mulai dari pembunuhan massal 1965, Peristiwa Talangsari 1989, hingga Penghilangan Paksa 1997–1998 yang menyebabkan belasan aktivis pro-demokrasi hilang tanpa jejak.
Selain itu, kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan banyak korban juga disebut sebagai pelanggaran HAM berat. Lembaga ini menyesalkan masih adanya pihak yang menyangkal fakta-fakta tersebut. "Tragisnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal terjadinya perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 dan pelanggaran lainnya," tulis YLBHI dalam siaran persnya.
LBH-YLBHI juga menyinggung sisi lain dari rezim Soeharto, yakni praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah ditegaskan melalui TAP MPR XI/MPR/1998. Meskipun pemerintah sempat berupaya menggugat secara perdata melalui kasus Yayasan Supersemar, Soeharto secara pribadi tidak pernah dimintai pertanggungjawaban hukum.
Lembaga itu menilai, jika Presiden Prabowo Subianto tetap melanjutkan proses pemberian gelar pahlawan, maka langkah tersebut sama saja mengkhianati mandat reformasi. Prabowo yang terpilih di iklim reformasi seharusnya tampil sebagai negarawan untuk meneguhkan supremasi hukum, bukan memberi karpet merah terhadap mantan Presiden Soeharto.
Selain menyoroti substansi moral dan sejarah, YLBHI juga mempersoalkan proses administratif pengusulan gelar tersebut. Proses dari tingkat daerah hingga nasional disebut tidak transparan dan tidak akuntabel.
LBH-YLBHI menilai langkah ini justru merendahkan makna rekonsiliasi dan mengikis nilai demokrasi. Mereka menegaskan bahwa negara hukum seharusnya menjamin hak korban pelanggaran HAM masa lalu, bukan mengabaikannya.
Karenanya, LBH-YLBHI menyerukan enam tuntutan kepada pemerintah dan masyarakat, yakni Presiden Prabowo segera menghentikan proses pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional; DPR dan partai politik menolak usulan tersebut.
Kemudian aparat penegak hukum melanjutkan proses hukum terhadap keluarga dan kroni Soeharto; Jaksa Agung mempercepat penyidikan kasus pelanggaran HAM berat; pemerintah dan DPR berhenti menerbitkan kebijakan yang mengkhianati mandat reformasi; dan masyarakat agar tidak berhenti bersuara menolak pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto. (H-2)


















































