(MI/Duta)
FOMO (fear of missing out) akan kecerdasan buatan kini semakin nyata. Dalam waktu singkat, AI (artificial intelligence) telah berubah dari sekadar wacana teknologi menjadi asisten sehari-hari bagi banyak orang, dari pelajar hingga profesional. AI tidak hanya menyederhanakan pekerjaan rumit, tetapi dengan juga jangkauan big data yang luas, ia mampu menyelesaikan beragam persoalan hanya dengan prompt yang tepat.
Di tengah pesatnya digitalisasi dunia kerja, melek AI sudah menjadi syarat wajib bagi para pencari kerja. Kemampuan ini tidak sekadar berarti bisa mencari informasi, tetapi juga melakukan analisis mendalam sebelum mengambil tindakan. Sayangnya, banyak orang di sekitar saya masih memandang AI seperti search engine biasa, padahal ada seni dan teknik tersendiri agar AI bekerja sesuai dengan harapan.
Gelombang investasi dan inovasi AI yang masif turut mempengaruhi lanskap teknologi yang digunakan sehari-hari. Aplikasi-aplikasi yang familier di kalangan pelajar dan guru pun kini berlomba mengintegrasikan fitur AI ke dalam platform mereka. Realitas ini semakin menegaskan bahwa langkah proaktif dunia pendidikan--seperti penguatan literasi digital dan berpikir kritis--menjadi kunci agar kita tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga mampu menjadi navigator yang cerdas di era ini.
DAMPAK LANGSUNG DI DUNIA PENDIDIKAN
Bagi guru, kehadiran AI bagai angin segar. Mulai menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), merancang modul dan bahan presentasi, hingga menganalisis hasil asesmen--semua menjadi lebih efisien. Namun, di balik kemudahan ini, guru dituntut terus beradaptasi dan meningkatkan kompetensi agar tidak tergerus zaman. Literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan yang akan menjadi 'asisten pribadi' bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Di sisi lain, mahasiswa merasakan transformasi yang lebih dramatis. Dulu, mereka harus menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, melakukan survei manual, atau berselancar di internet dengan kata kunci dasar. Proses itu tidak hanya melelahkan, tetapi juga sering menghasilkan data yang tidak terstruktur. Tantangan terbesarnya ialah membedakan sumber yang kredibel dari yang tidak, yang membutuhkan pelatihan literasi informasi yang intensif.
Kini, dengan bantuan ChatGPT, Perplexity, atau Microsoft Copilot, mahasiswa dapat menyeleksi referensi, membuat ringkasan jurnal, bahkan menyajikan analisis data statistik awal--hanya dalam hitungan menit. Menurut laporan Educause 2024, lebih dari 60% mahasiswa mengaku proses pencarian literatur menjadi jauh lebih cepat.
Alat AI juga mampu menyorot sumber tepercaya seperti jurnal Scopus atau PubMed, dan beberapa bahkan terintegrasi dengan database kampus. Sebuah studi dalam International Journal of Educational Technology in Higher Education (2023) menyebutkan mahasiswa yang memanfaatkan AI 35% lebih cepat menemukan sumber ilmiah yang relevan jika dibandingkan dengan pencarian manual.
Dengan data yang terkumpul lebih cepat, energi dapat dialihkan ke proses analisis, kritik, dan sintesis--tidak sekadar mengumpulkan. Namun, di balik kemudahan ini, ada risiko 'mager' atau malas gerak dalam melakukan riset. Mahasiswa bisa menjadi pasif dan menerima hasil AI begitu saja tanpa cross check sehingga keterampilan evaluasi sumber berpotensi tumpul.
ANTARA PENINGKATAN DAN PENURUNAN KECERDASAN
Di satu sisi, AI membuka akses pengetahuan yang lebih luas. Siswa dapat menanyakan apa pun, dari matematika hingga sejarah, dan mendapatkan jawaban ringkas serta terstruktur. Siswa yang lambat dalam matematika bisa mendapat latihan bertahap, sementara yang cepat dapat langsung menantang diri dengan soal yang lebih kompleks. Keterampilan digital seperti coding dan literasi teknologi juga turut berkembang seiring dengan interaksi mereka dengan AI.
Namun, di sisi lain, ada risiko penurunan daya kritis. Karena jawaban tersedia secara instan, siswa menjadi jarang berpikir panjang atau menganalisis secara mandiri. 'Kecerdasan kritis' mereka bisa jadi lebih lemah dibandingkan generasi sebelumnya yang terbiasa berjuang mencari dan menyaring informasi. Ketahanan belajar juga terancam--jiwa pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan riset bisa tergerus oleh mentalitas 'ingin cepat selesai'.
Generasi sebelum AI mungkin lebih unggul dalam ketekunan, berpikir kritis, dan kreativitas manual. Sementara itu, generasi AI lebih cepat dalam mengakses informasi, melek teknologi, dan beradaptasi dengan perubahan. Jadi, ini bukan soal siapa yang lebih cerdas, melainkan pergeseran jenis kecerdasan. Generasi AI 'pintar dalam mengakses teknologi', sementara generasi sebelumnya 'pintar dalam mengolah informasi dengan cara tradisional'.
MEMBANGUN FONDASI DIGITAL YANG KRITIS DI SEKOLAH
Di Sekolah Sukma Bangsa, penerapan teknologi dalam pembelajaran telah dirancang sebagai sebuah ekosistem yang terintegrasi. Kami tidak sekadar mengadopsi alat terbaru, tetapi juga membangun kerangka penggunaan IT yang mendukung perkembangan pola pikir kritis dan kreatif. Dalam praktiknya, siswa dari tingkat dasar telah dikenalkan pada computational thinking melalui permainan logika dan pemrograman visual, bukan sekadar pengajaran aplikasi office. Hal itu menanamkan pemahaman konseptual tentang bagaimana teknologi bekerja, bukan hanya cara menggunakannya.
Untuk menangkal risiko ketergantungan, sekolah menerapkan model AI-human partnership dalam penyelesaian tugas. Siswa diwajibkan untuk mendokumentasikan proses penelitian mereka--dari prompt yang diberikan kepada AI, sumber yang diverifikasi, hingga analisis mandiri terhadap hasil yang diperoleh. Pendekatan ini mengajarkan bahwa AI ialah mitra belajar yang kuat, tetapi tanggung jawab akhir atas kebenaran dan kedalaman pemahaman tetap berada di pundak siswa. Literasi digital dan etika teknologi menjadi mata rantai yang tidak terpisahkan dalam kurikulum, memastikan bahwa kemudahan akses informasi tidak mengikis integritas akademik.
Kecerdasan buatan bisa menjadi pendorong positif bagi pendidikan--membantu guru dan siswa beradaptasi dengan teknologi, meningkatkan daya saing, dan membuka akses pengetahuan yang belum pernah terbayang sebelumnya. Namun, jika hanya ikut tren karena FOMO, tanpa dibarengi pemahaman kritis, ketergantungan pada jawaban instan justru dapat melemahkan kreativitas dan ketekunan.
Oleh karena itu, FOMO terhadap AI akan membawa manfaat jika diimbangi dengan literasi digital, etika penggunaan, dan pembiasaan berpikir kritis. Tujuannya, yaitu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak dalam memanfaatkannya. Dengan sikap yang tepat, FOMO terhadap AI bukan lagi tentang rasa takut tertinggal, melainkan semangat untuk terus maju dan berkembang bersama perubahan zaman.


















































