Ledakan wisata pascapandemi membawa dampak negatif di sejumlah destinasi populer Asia. (Antara)
FENOMENA overtourism yang dulu banyak terjadi di Eropa kini juga melanda Asia. Dari Bali hingga Kyoto, destinasi terkenal kini kewalahan menampung lonjakan wisatawan yang mengancam keseimbangan lingkungan dan kehidupan warga lokal.
“Bali jelas salah satunya,” kata Gary Bowerman, analis tren perjalanan asal Kuala Lumpur. “Saya juga akan menyebut Kyoto di Jepang, dan mungkin Phuket di Thailand.”
Masalah utama bukan soal luas wilayah, melainkan penumpukan wisatawan di titik-titik populer yang sama. Banyak turis membanjiri destinasi ikonik, membuat pengalaman berwisata tak lagi nyaman, baik bagi pendatang maupun penduduk.
Lonjakan Wisata Pascapandemi
Menurut Pacific Asia Travel Association (PATA), pariwisata di Asia bangkit pesat usai pandemi. Wilayah Asia Timur Laut (termasuk Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan) mencatat pertumbuhan 20% dalam enam bulan pertama 2025. Sementara itu, Vietnam mencatat lonjakan kedatangan internasional sebesar 21%, menjadikan kawasan seperti Ha Long Bay dan Hoi An semakin padat.
“Begitu suatu tempat mendapat status warisan dunia UNESCO, semua orang ingin ke sana,” ujar Bowerman.
Sementara itu, Phuket, Thailand, menghadapi masalah klasik, kemacetan, kekurangan air, dan penumpukan sampah. Pemerintah setempat bahkan berencana membatasi jumlah wisatawan demi menjaga keseimbangan.
Namun situasi terparah terlihat di Bali. Menurut Nikki Scott, pendiri Backpacker Network, pulau ini kini mengalami krisis lingkungan akibat pariwisata berlebihan. “Dari polusi plastik hingga kekurangan air dan banjir besar baru-baru ini, semua berkaitan dengan pembangunan berlebihan dan hilangnya lahan sawah untuk vila dan hotel,” ujarnya.
Ketegangan Sosial di Kyoto
Kota Kyoto juga menghadapi dilema serupa. Pada 2024, lebih dari 56 juta wisatawan berkunjung ke kota berpenduduk hanya 1,5 juta jiwa itu. Hasil survei Yomiuri Shimbun menunjukkan 90% warga Kyoto mengeluhkan kemacetan, perilaku turis yang tidak sopan, serta kepadatan di transportasi umum.
“Karakter Jepang yang konservatif membuat masyarakat merasa kehilangan keseimbangan ketika satu dari tiga orang di sekitar mereka adalah turis,” kata Yusuke Ishiguro, profesor di Universitas Hokkaido.
Pemerintah kota kini menerapkan kamera pengawas dan pajak hotel, namun belum mampu mengatasi akar masalah. Tahun lalu, Kyoto bahkan melarang turis masuk ke gang pribadi di kawasan Gion setelah geisha mengeluh kerap diganggu wisatawan.
Menemukan Keseimbangan
Meski pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi banyak negara Asia, keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kelestarian budaya kini semakin sulit dijaga.
“Pemerintah melihat pariwisata sebagai pilar pertumbuhan ekonomi dan citra nasional,” kata Bowerman. “Tapi menegakkan aturan terhadap turis sangat sulit, tak ada negara yang ingin dikenal karena ‘memenjara wisatawan.’”
Para pakar menyarankan agar wisatawan mencari destinasi alternatif dan menghindari musim puncak. “Jangan hanya mengikuti jejak influencer. Bicara dengan warga lokal, mereka tahu tempat-tempat indah yang belum ramai,” saran Nikki Scott.
Fenomena overtourism kini menjadi pengingat, bahkan surga pun bisa runtuh jika tak dijaga keseimbangannya. (CNN/Z-2)


















































