
NEGARA tetangga Indonesia, Papua Nugini (PNG), menjadi salah satu dari 10 negara yang menolak resolusi kemerdekaan Palestina dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pakar Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ali Maksum, menilai penolakan tersebut tidak lepas dari kalkulasi politik luar negeri berbasis kepentingan nasional.
“Negara-negara yang menolak, seperti Amerika Serikat, Hungaria, dan Papua Nugini, melakukannya karena faktor kepentingan nasional. Amerika, misalnya, menilai dengan menolak kemerdekaan Palestina ada keuntungan strategis yang bisa diperoleh. Begitu pula negara lain, mereka menimbang untung-rugi politik dan ekonomi,” jelas Ali dalam siaran pers, Rabu (17/9).
PNG dinilai berbeda dari negara-negara tetangga regionalnya. Beberapa negara ASEAN yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Singapura, Thailand, dan Filipina, justru mendukung Palestina.
“Ini menarik, karena meskipun Singapura atau Thailand punya kedekatan dengan Israel, mereka tetap mendukung Palestina. Alasan utamanya lebih pada stabilitas politik domestik dan menjaga kepentingan ekonomi kawasan. Jika menolak, mereka justru bisa menghadapi risiko, termasuk terganggunya hubungan investasi lintas negara,” terangnya.
Ali menjelaskan, sikap PNG dipengaruhi kombinasi faktor ekonomi dan ideologis. Hubungan PNG dengan Israel semakin erat, terutama karena kepentingan besar untuk menarik investasi di sektor pertanian dan teknologi. Bahkan, Israel telah menyediakan lahan di Yerusalem untuk pembangunan kantor Kedutaan Besar PNG, bukti adanya simbiosis ekonomi-politik.
Selain itu, faktor keyakinan juga berpengaruh. PNG memiliki komunitas Kristen-Yahudi yang cukup kuat dan dikenal pro-Israel. Hal ini diyakini ikut membentuk arah kebijakan luar negerinya.
Kondisi tersebut membuat peran PBB dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina seakan buntu. Menurut Ali, berbagai upaya, baik melalui jalur diplomasi maupun bantuan kemanusiaan, kerap terhambat oleh kepentingan negara-negara besar.
“Kalau kita lihat, meskipun ada negara Eropa Barat seperti Spanyol dan Prancis yang mulai mendukung Palestina secara terbuka, itu pun sering karena tekanan politik domestik. Amerika sendiri menghadapi protes besar, tetapi kebijakan luar negerinya tidak berubah karena pengaruh kuat Israel,” ujarnya.
Sementara itu, Indonesia tetap konsisten mendukung Palestina di berbagai forum internasional. Ali menegaskan, meski hasil diplomasi belum maksimal, konsistensi Indonesia tetap penting.
“Diplomasi kita sudah maksimal sejauh ini, meski jelas tidak bisa sendirian. Kita harus terus memperjuangkan Palestina karena itu bagian dari komitmen sejarah politik luar negeri Indonesia. Selama belum ada tatanan dunia baru yang bisa menggantikan peran PBB, perjuangan ini harus tetap dilanjutkan,” tegasnya. (AT/E-4)