Fakta Ilmiah di Balik Detoks Dopamin: Benarkah Bisa Mereset Otak?

5 hours ago 2
 Benarkah Bisa Mereset Otak? Ilustrasi(freepik)

TREN kesehatan sering kali terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Banyak yang menjanjikan perubahan cepat, hasil luar biasa, dan metode yang terkesan sederhana. Namun, tidak semua yang viral di media sosial memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Salah satunya adalah fenomena dopamine detox atau detoks dopamin, yang diklaim mampu “mereset otak” agar tidak lagi bergantung pada kesenangan instan. Dalam kenyataannya, menurut para ahli, konsep ini keliru secara ilmiah dan sering disalahpahami.

Istilah “dopamine fasting” pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Cameron Sepah pada 2019 melalui artikel di LinkedIn. Ia menggambarkannya sebagai cara untuk mengurangi perilaku impulsif dan kompulsif, seperti penggunaan media sosial berlebihan, bermain game tanpa henti, dan sebagainya. 

Tujuannya adalah untuk menahan diri dari aktivitas yang memberi lonjakan dopamine yang cepat. Dengan itu, seseorang dapat membangun kembali hubungan yang sehat dengan rasa puas dan kebahagiaan. 

Namun, sebagaimana dijelaskan psikolog Susan Albers, PsyD, konsep ini sebenarnya bukanlah hal baru. “Apa yang disebut detoks dopamin itu sejatinya adalah bentuk terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT),” ujarnya. 

Dalam CBT, seseorang belajar mengenali dan mengubah pola pikir serta perilaku yang tidak sehat melalui kesadaran diri dan teknik mindfulness. Dr. Albers menegaskan bahwa metode yang diusung Cameron tampak sebagai hal baru karena nama dan kemasannya yang menarik perhatian publik. Permasalahan muncul ketika istilah detoks dopamin diartikan secara harfiah. 

Banyak orang percaya bahwa mereka dapat menghapus atau menurunkan kadar dopamin dalam tubuh dengan menghindari semua bentuk kesenangan. Padahal, dopamin bukan racun yang perlu disingkirkan, melainkan neurotransmiter penting yang berfungsi mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh untuk mendukung gerak, tidur, motivasi, dan perasaan senang. 

“Kita membutuhkan dopamin di setiap sistem tubuh kita. Tanpa itu, kita tidak bisa berfungsi dengan baik,” kata Dr. Albers. Kadar dopamin yang terlalu rendah justru dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti depresi, penyakit Parkinson, hingga masalah memori. Artinya, ide untuk “membersihkan dopamin” sama sekali tidak masuk akal secara biologis. 

Lebih jauh, kebahagiaan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh dopamin. Ada pula neurotransmiter lain seperti serotonin, oksitosin, endorfin, dan norepinefrin yang berperan dalam menciptakan rasa nyaman dan kepuasan. Karena itu, memfokuskan seluruh perhatian pada dopamin sebagai penyebab masalah perilaku adalah penyederhanaan berlebihan terhadap proses yang jauh lebih kompleks.

Masalah lain dari tren ini adalah pendekatannya yang ekstrem, menahan diri dari semua hal yang menyenangkan. “Pendekatan seperti itu tidak realistis dan tidak berkelanjutan,” terang Dr. Albers. Sama seperti diet ketat yang sering gagal, membatasi semua bentuk kesenangan hanya akan membuat seseorang semakin terobsesi pada hal-hal yang dihindari. Akibatnya, perubahan perilaku menjadi tidak efektif.

Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy)

Sebagai gantinya, Dr. Albers merekomendasikan pendekatan berbasis CBT yang lebih sehat dan realistis. Ia membagi langkah-langkahnya menjadi lima tahapan:

  1. Menentukan perilaku yang ingin diubah, misalnya layar ponsel berlebihan.
  2. Mencoba berhenti sementara dalam durasi yang terjangkau, dari satu jam hingga satu minggu. Bila sulit, cukup batasi waktunya.
  3. Menggantinya dengan aktivitas menenangkan seperti membaca, berjalan, atau bertemu teman.
  4. Mencatat perkembangan serta pemicu yang muncul.
  5. Mengevaluasi hasilnya dan tidak ragu mencari bantuan profesional jika dibutuhkan.

Pada intinya, detoks dopamin bukanlah konsep medis yang valid. Namun, versi modern dan viral dari terapi perilaku kognitif yang telah lama terbukti efektif. Meski demikian, Dr. Albers menilai tren ini memiliki sisi positif, yakni memicu minat masyarakat untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental dan keseimbangan hidup di tengah era digital.

“Merasa terlalu terstimulasi oleh ponsel dan media sosial adalah pengalaman yang sangat umum. Kalau tren ini bisa membuat orang lebih sadar dan mulai mengubah kebiasaan yang tidak sehat, itu langkah awal yang baik,” jelasnya.

Jadi, alih-alih berusaha membersihkan dopamin, langkah yang lebih tepat adalah belajar menyeimbangkan kehidupan. Selain itu, bagaimana menemukan kembali rasa puas tanpa harus menghapus semua kebahagiaan. (clevelandclinic.org/P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |