
KEPALA bidang pengembangan profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menyebut ada 3 indikator utama pengendalian malaria yaitu Annual Parasite Incidence (API) kurang dari 1 per 1.000 penduduk, positivity rate (tingkat positif) kurang dari 5%, dan tidak ada kasus malaria indigenous (kasus asli/terjangkit dari penduduk lokal).
Diberitakan sebelumnya bahwa Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria.Padahal pada Juni 2024 daerah tersebut menerima sertifikat sebagai daerah bebas malaria dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kemenkes melaporkan kasus baru di Kabupaten Parimo tersebut sumber penularan dari kasus import pekerja tambang berasal dari Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.
Munculnya KLB Malaria di daerah, membuat Masdalina bertanya terkait transparansi pengendalian malaria di wilayah yang diklaim bebas malaria tersebut.
"Pada indikator pertama yaitu Annual Parasite Incidence bisa dikelabui dengan menurunkan jumlah tes. Sementara pada indikatro kedua yaitu positivity rate di beberapa daerah 1 orang di test beberapa kali (RDT, Mikroskopis dan PCR) seolah-olah jumlah test banyak dan positif dikit, perhitungannya 1 positif dari 3 test = 1/3 = 33%, padahal harusnya 1 positif dari 1 test jadi 1/1 = 100%, hitungan positivity rate itu yang suka dikotak-katik. Positivity rate harus < 5%, jadi dari 100 orang yang diperiksa harus < 5 spesimen positifnya," paparnya saat dihubungi, Rabu (3/9).
Untuk indikator ketiga yakni tidak ada kasus dari penduduk lokal, menurut Masdalina hasil Penyelidikan Epidemiologi (PE) tidak dilaporkan, jika ketauan indigenous case, maka artinya ada penularan setempat dan status eliminasi mestinya dicabut.
Dampaknya pengendalian malaria itu seperti fenomena gunung es, seolah-olah kasusnya sedikit, tetapi dibawah sebenarnya banyak, suatu saat itu akan meletus, letusan ini yang disebut outbreak (letupan), kalau outbreak-nya banyak dan luas itu disebut epidemi, jika berlangsung lama tidak selesai-selesai di sebut endemi. Hal itu berlaku bukan hanya pada malaria saja, tetapi juga pada tuberkulosis, termasuk polio.
"Terkadang pemerintah daerah menyatakan sebagai kasus impor agar status eliminasi tidak dicabut, tetapi indikator jumlah PE sebagai bukti bahwa memang kasus tersebut merupakan import cases sangat rendah," ujar dia.
Ia berharap pemerintah lakukan pengendalian penyakit sesuai standar dan komprehensif, kemudian adanya transparansi data yang akurat sehingga malaria bisa ditangani dengan baik.
"Pacu dan fokuskan anggaran kesana, di audit setiap rupiah yang dikeluarkan untuk setiap kasus," pungkasnya. (Iam/I-1)