
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali pengetahuan dari mantan Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Luqman Hakim, mengenai persoalan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing atau RPTKA.
“Saksi didalami terkait dengan pengetahuannya tentang praktik-praktik pengurusan TKA pada era tersebut,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.
Budi mengatakan bahwa penyidik KPK mendalami pengetahuan dari mantan anggota DPR RI tersebut untuk melengkapi berkas perkara.
“Dengan demikian, nanti bisa segera cepat lengkap,” katanya.
Sementara itu, dia menjelaskan bahwa KPK telah memeriksa sejumlah saksi, dan penggeledahan dari pihak Kementerian Ketenagakerjaan maupun agen yang mengurus TKA. Sebelumnya, Luqman Hakim diberitakan pernah menjadi Stafsus Menaker era Hanif Dhakiri.
Namun, Luqman Hakim sempat menjadi Stafsus Menakertrans era Cak Imin, dan sempat diperiksa sebagai saksi oleh KPK pada 27 September 2023, untuk perkara dugaan korupsi dalam pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kemenakertrans tahun 2012.
Untuk Rabu ini, Luqman tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada pukul 09.21 WIB, dan meninggalkan gedung tersebut pada pukul 12.05 WIB.
Luqman tidak banyak menjelaskan materi pemeriksaannya kepada para jurnalis yang bertanya kepadanya, yakni terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA.
KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.(Ant/P-1)