Prof. Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H, (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Yudhiarma MK, M.Si, (Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)(Baznas)
Pendahuluan
Setiap tahun, tanggal 5 November mengingatkan dunia pada sebuah pelajaran mahal tentang betapa rentan kehidupan manusia di hadapan amukan alam. Hari Kesadaran Tsunami Sedunia tidak hanya menjadi momen mengenang korban, tetapi lebih penting, sebagai pengingat untuk memperkuat sistem kesiapsiagaan secara menyeluruh. Di Indonesia, negara yang akrab dengan ancaman bencana, kesiapsiagaan ini telah berevolusi. Semakin banyak lembaga filantropi, termasuk lembaga zakat, yang membentuk unit khusus penanganan bencana, bergerak cepat dari fase respons darurat hingga rehabilitasi.
Namun, di balik gegap gempita aksi tanggap darurat yang sering menjadi sorotan, terdapat sebuah celah strategis yang masih luput dari perhatian utama: perlindungan finansial prabencana. Eksistensi dan urgensi asuransi dalam ekosistem penanganan bencana Indonesia masih terasa belum signifikan. Bantuan kerap bersifat charity dan reaktif, sementara korban bencana tak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga mata pencarian dan aset yang telah susah payah dikumpulkan.
Di sinilah momentum bagi unit kebencanaan pada organisasi filantropi Islam seperti Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), BAZNAS Tanggap Bencana (BTB), dan sebagainya, untuk tidak hanya menjadi first responder, tetapi juga menjadi pelopor dalam membangun ketangguhan masyarakat melalui instrumen keuangan syariah yang inklusif, seperti asuransi. Pada peringatan Hari Kesadaran Tsunami Sedunia kali ini, sudah waktunya berbicara tidak hanya tentang bagaimana menyelamatkan diri saat bencana datang, tetapi juga bagaimana memastikan kehidupan dapat bangkit dan berjalan kembali setelahnya.
Di tengah peningkatan frekuensi dan intensitas bencana global, komunitas rentan kerap menanggung beban paling berat. Ancaman ini tidak hanya menguji ketahanan fisik, tetapi juga stabilitas sosial-ekonomi, terutama di wilayah dengan sistem perlindungan finansial yang terbatas. Dalam konteks inilah ekonomi Islam menawarkan dua instrumen fundamental: zakat dan asuransi. Zakat, sebagai kewajiban agama, berperan sebagai alat penanggulangan kemiskinan, sementara asuransi hadir sebagai alternatif asuransi konvensional yang berdasar pada prinsip saling menanggung risiko (ta’awun). Namun sayang, meski memiliki akar filosofis yang sama, dalam praktiknya kedua lembaga ini justru berjalan sendiri-sendiri. Zakat kerap terbatas pada fungsi kuratif pascabencana, sedangkan asuransi cenderung hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial, sehingga meninggalkan celah perlindungan yang kritis bagi kelompok paling membutuhkan (asnaf).
Kondisi yang ada saat ini, justru memperpanjang rantai kerentanan. Alih-alih membangun ketahanan, filantropi yang bersifat reaktif sering hanya menjadi bantuan temporer, tanpa mampu mencegah jurang kemiskinan yang semakin dalam pascabencana. Sementara itu, asuransi tetap menjadi barang mewah yang tidak terjangkau oleh mereka yang paling membutuhkannya. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, fragmentasi ini jelas bertentangan dengan semangat utuh maqasid al-shariah, khususnya dalam hal perlindungan harta (hifz al-mal) dan peningkatan kesejahteraan komunitas.
Tinjauan literatur sebelumnya, seperti yang dilakukan Ahmed (2018) serta Htay dan Salman (2019), telah banyak mengkaji zakat dan asuransi sebagai entitas yang terpisah. Namun, yang menarik dan justru menjadi celah penelitian, adalah bahwa kajian-kajian tersebut belum menyelami potensi sinergi strategis antara keduanya untuk menciptakan sebuah model mitigasi risiko bencana (DRM) yang terpadu. Literatur yang ada tampak belum menjawab bagaimana sebenarnya mekanisme operasional dan keuangan dari kedua instrumen ini dapat disatukan untuk menjembatani kesenjangan antara mitigasi risiko yang bersifat preventif dan pemulihan pascabencana.
Oleh karena itu, perubahan paradigma menuju kondisi ideal menjadi keharusan dimana yang dibutuhkan adalah sebuah model sinergis yang tidak hanya visioner tetapi juga praktis. Dalam model ini, dana zakat dapat dialihkan secara strategis untuk subsidi kontribusi asuransi bagi asnaf, sehingga mentransformasi zakat dari sekadar amal kuratif menjadi modal proaktif untuk inklusi keuangan dan pembangunan ketahanan. Pendekatan terpadu semacam ini bertujuan menciptakan jaring pengaman sosial yang mulus, yang mampu melindungi komunitas dari fase kesiapsiagaan sebelum bencana hingga rehabilitasi jangka panjang pascabencana.
Penelitian ini melampaui seruan kolaborasi teoretis dengan menyajikan cetak biru operasional yang rinci, termasuk struktur asuransi dua tingkat, sekaligus secara jujur mengidentifikasi dan membedah tantangan implementasi yang kompleks seperti adverse selection, kesenjangan likuiditas, dan dikotomi regulasi yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam studi-studi sebelumnya. Kontribusi ilmiah artikel ini bersifat tiga dimensi. Pertama, menawarkan kerangka konseptual baru yang mendefinisikan ulang peran zakat dalam keuangan sosial Islam. Kedua, memberikan penilaian yang realistis dan kritis terhadap hambatan implementasi, sekaligus memetakan jalan untuk penelitian empiris di masa depan. Ketiga, artikel ini berkontribusi pada wacana mitigasi risiko bencana global dengan menghadirkan alternatif yang beretika dan berbasis komunitas, yang berakar kuat pada prinsip solidaritas dan saling bantu, menawarkan perspektif yang segar dan kontekstual.
Zakat dan Asuransi: Mitigasi Risiko Bencana
Kelemahan yang paling menonjol dari pendekatan yang terputus saat ini bermanifestasi selama fase prabencana. Asuransi, terlepas dari etos kooperatifnya, sering kali mendirikan hambatan aksesibilitas yang signifikan bagi yang paling rentan asnaf. Bagi mereka yang berada di dasar piramida ekonomi, premi tetap menjadi biaya yang mahal, menciptakan kesenjangan perlindungan kritis tepat di tempat yang paling dibutuhkan. Sebaliknya, dana zakat digunakan hampir secara eksklusif sebagai tindakan reaktif, berfungsi sebagai ambulans keuangan daripada perisai pencegahan. Siklus reaktif ini, menariknya, melanggengkan keadaan genting finansial yang ingin dikurangi, sehingga bertentangan dengan prinsip utama maqasid al-syariah: pelestarian kekayaan (hifz al-mal).
Model yang diusulkan memperkenalkan kebaruannya dengan memposisikan ulang zakat secara strategis sebagai catalytic enabler untuk asuransi. Secara khusus, sebagian dana zakat yang dialokasikan untuk fisabilillah dan gharimin (pengutang) dapat mensubsidi kontribusi asuransi untuk asnaf yang memenuhi syarat. Ini jauh dari subsidi sederhana, tapi mewakili strategi transformatif untuk inklusi keuangan. Dengan mengubah amal ex-post menjadi modal risiko ex-ante, kerangka kerja ini mengatur pergeseran paradigma mendasar dari bantuan reaktif ke ketahanan proaktif. Dengan demikian, ia mengoperasionalkan prinsip asuransi (solidaritas) dalam bentuknya yang paling otentik, menjalin jaring pengaman berbasis masyarakat di mana orang kaya berkontribusi melalui zakat dan yang rentan mendapatkan akses yang bermartabat ke perlindungan risiko formal.
Menerjemahkan sinergi ini ke dalam praktik memerlukan arsitektur asuransi dua tingkat yang inovatif. Tingkat pertama akan melayani populasi umum dan pelarut melalui paket asuransi konvensional. Namun, tingkat kedua yang disubsidi akan dirancang khusus untuk asnaf, yang didanai oleh kumpulan zakat khusus. Struktur ini secara langsung menargetkan masalah penelitian dengan menyediakan mekanisme integrasi yang nyata dan sesuai dengan syariah. Untuk memastikan kelayakan aktuaria, penjaminan emisi untuk tingkat bersubsidi dapat mengadopsi pendekatan yang berfokus pada masyarakat, memanfaatkan kebijakan berbasis kelompok yang terkait dengan zona geografis atau sosial-ekonomi tertentu, sehingga mengurangi risiko seleksi yang merugikan.
Setelah bencana, model terintegrasi menunjukkan keunggulan operasional yang jelas. Para asnaf akan menerima pembayaran klaim tepat waktu dari dana asuransi, memastikan likuiditas segera untuk pemulihan. Mekanisme ini, khususnya, mengurangi ketergantungan instan mereka pada zakat untuk kelangsungan hidup belaka, sehingga membebaskan sebagian besar kumpulan zakat. Dana yang dibebaskan ini kemudian dapat dialihkan secara strategis ke rehabilitasi jangka panjang seperti membangun kembali infrastruktur, memberikan pinjaman tanpa bunga (qard al-hasan), atau mendukung program mata pencaharian. Akibatnya, model ini memutus siklus ketergantungan yang melemahkan dan secara aktif mendorong pembangunan berkelanjutan.
Kritik yang dapat diprediksi terhadap subsidi semacam itu adalah risiko moral hazard. Namun, fondasi model dalam keuangan Islam secara inheren mengurangi kekhawatiran ini. Kontrak asuransi sendiri didasarkan pada tabarru (donasi), yang menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama yang melekat. Selain itu, tata kelola oleh dewan pengawas syariah yang berdedikasi akan memastikan semua operasi selaras dengan prinsip-prinsip etika Islam. Misal, kondisi pembayaran dapat bergantung pada verifikasi tingkat masyarakat atau partisipasi dalam pelatihan kesiapsiagaan bencana, sehingga mempromosikan budaya akuntabilitas bersama atas penerimaan pasif.
Kekuatan analitis model mungkin paling jelas dalam dampak transformatifnya terhadap dinamika kemiskinan. Distribusi zakat yang berdiri sendiri, meskipun penting, terutama menawarkan kelancaran konsumsi sementara tanpa melindungi dari guncangan di masa depan. Pendekatan terintegrasi, sebaliknya, memberikan perlindungan aset penting. Dengan mengamankan aset yang sedikit namun penting dari orang miskin rumah dan mata pencaharian mereka dari bencana, itu mencegah bencana jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih dalam atau jebakan utang. Hal ini sejalan dengan interpretasi yang lebih progresif tentang peran zakat dalam mencapai keadilan ekonomi dan sirkulasi kekayaan, bergerak melampaui subsistensi menuju pemberdayaan yang sejati dan langgeng.
Analisis yang ketat tentu saja harus menghadapi tantangan praktis likuiditas dan keberlanjutan. Mengalokasikan sebagian zakat untuk subsidi asuransi menuntut pandangan ke depan aktuaria yang canggih dan pengelolaan arus kas yang cermat. Kelayakan keuangan model secara inheren terkait dengan pemodelan probabilitas bencana yang akurat dan skala kumpulan zakat yang tersedia. Menariknya, pengurangan jangka panjang dalam pembayaran darurat pasca-bencana diproyeksikan akan menciptakan efek positif bersih pada keberlanjutan dana, yang berpotensi mengubahnya dari dana konsumsi menjadi dana abadi pembangunan ketahanan. Program percontohan empiris di wilayah rawan bencana akan sangat berharga untuk mengkalibrasi dinamika keuangan ini.
Kerangka kerja ini menyajikan keunggulan komparatif yang berbeda dibandingkan model mitigasi risiko bencana sekuler konvensional. Dimana asuransi konvensional sering dibatasi oleh logika maksimalisasi keuntungan yang mengecualikan area berisiko tinggi, dan bantuan pemerintah bisa lambat dan birokratis, model zakat-asuransi pada dasarnya dibangun di atas prinsip solidaritas dan gotong royong (ta'awun). Sifatnya yang tertanam dalam komunitas dan digerakkan secara etis memiliki potensi untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan, penyerapan, dan kepatuhan yang lebih tinggi, sehingga menawarkan kontribusi baru bagi lanskap mitigasi risiko bencana global.
Menjembatani kesenjangan dari teori ke praktik pada akhirnya bergantung pada penciptaan pendukung hukum dan peraturan. Saat ini, lembaga zakat dan asuransi sering beroperasi di bawah badan pengatur yang terpisah, menciptakan hambatan yurisdiksi yang signifikan. Agar implementasi berhasil, upaya kolaboratif antara dewan penasihat syariah nasional dan otoritas jasa keuangan sangat penting untuk membangun kotak pasir peraturan terpadu. Hal ini, akan memberikan ruang yang diperlukan untuk menguji model terintegrasi, memastikan kepatuhan terhadap yurisprudensi Islam dan peraturan keuangan nasional.
Tantangan Operasional di Daerah Rawan Bencana
Operasionalisasi kerangka kerja zakat dan asuransi terintegrasi di daerah rawan bencana mengungkap lanskap yang penuh dengan hambatan struktural, sosial, dan keuangan yang sangat terjerat. Sementara proposisi teoretis memanfaatkan zakat untuk subsidi premi dan bantuan segera, sementara asuransi memfasilitasi transfer risiko terstruktur tetap menarik secara intelektual (Abdul Rahman & Kassim, 2022), investigasi empiris kami mengungkap disonansi operasional yang mencolok yang meredam optimisme ini. Data tersebut dengan meyakinkan berpendapat bahwa kelayakan model secara kritis bergantung pada penyelesaian tiga tantangan inti, dan sangat terkait: asimetri informasi yang mendalam, mekanisme genting dari subsidi silang, dan defisit kritis dalam kapasitas kelembagaan. Analisis ini melanjutkan untuk membedah saling ketergantungan ini, yang bertujuan untuk menerangi sumber fundamental dari kerapuhan operasional model.
Hambatan yang tangguh sejak awal adalah asimetri informasi yang meresap yang secara sistematis memiringkan komposisi kumpulan risiko. Sebanyak 78% responden berpenghasilan rendah menunjukkan niat kuat untuk mendaftar dalam program asuransi bersubsidi, sentimen yang sebagian besar didorong oleh pengalaman langsung dan berulang mereka dengan bencana. Namun, keinginan ini secara paradoks bermasalah; Ini terkonsentrasi secara tidak proporsional di antara individu yang secara akurat menganggap diri mereka berisiko tinggi, sehingga memicu kasus seleksi yang merugikan yang parah. Kekhawatiran ini, menunjukkan bahwa kumpulan risiko yang didominasi oleh peserta tersebut akan memicu rasio klaim melebihi 120% pada tahun bencana frekuensi tinggi, sebuah skenario yang akan membuat model secara aktuaria tidak sehat tanpa suntikan modal eksternal yang substansial. Oleh karena itu, mekanisme seleksi diri ini menyerang inti dari prinsip Asuransi, yang didasarkan pada kumpulan risiko yang seimbang untuk saling melindungi yang berkelanjutan (Htay & Salman, 2019).
Solusi yang diusulkan untuk memanfaatkan dana zakat untuk mensubsidi premi, meskipun secara etis mulia, memperkenalkan paradoks keberlanjutan yang kritis ke dalam arsitektur keuangan model. Pemodelan kami, menunjukkan bahwa untuk membuat premi dapat diakses oleh orang miskin (kohort yang terdiri dari 65% dari populasi target), zakat akan diharuskan untuk menutupi lebih dari 80% dari premi aktuaria yang wajar. Komitmen semacam itu pasti dan cepat akan menguras pengumpulan zakat, yang secara tradisional diperuntukkan untuk spektrum kebutuhan kemanusiaan mendesak. Kekhawatiran ini digaungkan dalam FGD, di mana lembaga zakat menyuarakan kekhawatiran bahwa komitmen keuangan yang berdedikasi seperti itu akan "secara tidak dapat diterima mengalihkan dana dari tugas fidusia utama kepada orang miskin (asnaf)." Akibatnya, model terintegrasi terjebak dalam ikatan, mempertaruhkan hasil yang secara finansial tidak dapat dipertahankan oleh operator Asuransi atau secara operasional tidak bertanggung jawab terhadap lembaga zakat.
Memperparah tantangan keuangan adalah ketidaksesuaian likuiditas laten yang mengancam untuk melumpuhkan sistem selama peristiwa bencana. Model asuransi secara inheren bergantung pada kontribusi yang terakumulasi dalam Dana Risiko Peserta (PRF). Setelah bencana skala besar, lonjakan klaim simultan dapat dengan cepat menghabiskan PRF, mengharuskan qard hasan (pinjaman kebajikan) dari cadangan modal operator sendiri. Namun, analisis kami tentang kapasitas kelembagaan mengungkapkan kenyataan yang mencolok: sebagian besar operator asuransi mikro memiliki cadangan modal yang tidak mencukupi untuk menanggung intervensi keuangan yang signifikan seperti itu. Hal ini menciptakan kemacetan operasional yang melemahkan justru ketika tindakan cepat paling penting selama pemulihan pasca bencana. Oleh karena itu, model ini berisiko membuat janji keamanan yang secara struktural tidak dilengkapi untuk dipenuhi, berpotensi mengikis kepercayaan publik pada institusi yang dimaksudkan untuk memberikan penghiburan.
Kompleksitas operasional jauh melampaui perhitungan keuangan ke ranah logistik fisik yang menakutkan. Kerangka teoritis model terintegrasi mengidentifikasi verifikasi dan pembayaran pascabencana sebagai simpul kritis, namun di sinilah implementasi praktis goyah. Wawasan dari FGD dengan petugas lapangan menggarisbawahi bahwa kehancuran infrastruktur yang identik dengan bencana besar jalan runtuh, jalur komunikasi yang terputus secara bencana menghambat akses fisik ke penerima manfaat. Jurang logistik ini secara kritis menunda penilaian kebutuhan, sebuah proses yang semakin diperumit oleh hilangnya dokumentasi pribadi yang meluas. Efisiensi operasional model dengan demikian secara paradoks bergantung pada aparat logistik yang kuat yang seringkali menjadi korban pertama dari bencana yang ingin dimitigasi.
Dimensi manusia memperkenalkan lapisan kompleksitas lain yang tangguh. Menariknya, data survei mengungkapkan kesenjangan yang mendalam dalam literasi keuangan, dengan hanya 32% dari populasi sasaran yang menunjukkan pemahaman yang memadai tentang Asuransi; banyak yang malah mencampuradukkannya dengan hadiah amal tanpa syarat. Kesenjangan literasi ini pasti melahirkan harapan yang tidak realistis dan menumbuhkan perselisihan selama proses penyelesaian klaim yang sensitif. Selain itu, defisit kepercayaan yang signifikan terasa, dengan 41% responden menyatakan skeptisisme mengenai transparansi pengelolaan dana terintegrasi. Sentimen ini sejalan dengan laporan kelembagaan, di mana operator mengutip "mengelola ekspektasi penerima manfaat" sebagai biaya non-keuangan utama. Tanpa kampanye literasi keuangan yang terpadu dan sensitif secara budaya serta tata kelola yang terbukti transparan, penyerapan dan kepemilikan komunitas yang sejati kemungkinan akan tetap sulit dipahami (Dusuki, 2021).
Lanskap operasional semakin diperkeruh oleh labirin ambiguitas peraturan dan tumpang tindih yurisdiksi. Khususnya, lembaga zakat dan operator asuransi biasanya berada di bawah otoritas pengatur yang berbeda masing-masing badan keagamaan dan regulator jasa keuangan. Analisis kebijakan kami, yang disimpulkan dari tantangan kelembagaan, mengidentifikasi tidak adanya kerangka peraturan terpadu untuk mengatur integrasinya. Pertanyaan mendesak mengenai pengawasan kepatuhan syariah, tanggung jawab fidusia untuk dana yang dikeluarkan, dan mekanisme sengketa klaim standar sebagian besar masih belum terselesaikan. Kekosongan peraturan ini menumbuhkan inersia operasional, meningkatkan risiko regulasi, dan pada akhirnya mencegah komitmen kelembagaan sepenuh hati dari kedua sektor.
Meskipun sering disebut-sebut sebagai obat mujarab, teknologi muncul dalam temuan kami sebagai titik kegagalan potensial. Pengoperasian model terintegrasi yang efektif didasarkan pada infrastruktur digital yang andal untuk pendaftaran penerima, distribusi pembayaran, dan penilaian kerusakan. Namun, data dasar dari wilayah survei melukiskan gambaran yang berbeda, yang ditandai dengan penetrasi digital yang terbatas dan konektivitas yang tidak dapat diandalkan secara kronis. Upaya yang berniat baik untuk menerapkan solusi berbasis seluler, secara konsisten terhambat oleh defisit infrastruktur ini. Kesenjangan digital ini, khususnya, secara sistematis mengecualikan populasi yang paling rentan dan bergantung pada analog, sehingga bertentangan dengan etos dasar model tentang perlindungan inklusif.
Sementara zakat dan asuransi secara individual mapan dalam yurisprudensi syariah, integrasi mereka menjelajah ke wilayah doktrin yang belum dipetakan, menuntut kerangka pemerintahan yang baru dan standar. Focus Group Discussion (FGD) kami dengan ulama syariah memunculkan beberapa isu kontroversial, termasuk izin menggunakan zakat untuk transfer risiko pre-emptive, yaitu, premi sebagai lawan dari keringanan pasca-hoc, dan pengelolaan etis dari setiap surplus yang dihasilkan dalam PRF yang didanai oleh kontribusi bersubsidi. Tidak adanya standar yang diterima secara universal untuk model hibrida ini pasti mengarah pada interpretasi dan praktik yang terfragmentasi, yang pada gilirannya menghambat skalabilitas dan menghalangi keterlibatan dari donor internasional potensial dan mitra reasuransi yang mencari kepastian doktrinal.
Temuan kritis, dan sering diabaikan, adalah bahwa ketahanan jangka panjang model terkait erat dengan pembangunan kapasitas kelembagaan lokal yang disengaja. Desain operasional saat ini, seperti yang dianalisis, menunjukkan ketergantungan yang mengkhawatirkan pada lembaga eksternal atau terpusat untuk fungsi manajemen inti. Untuk model yang dimaksudkan untuk menumbuhkan ketahanan masyarakat, ketergantungan ini merupakan kerentanan yang mendalam. Oleh karena itu, kerangka kerja yang berkelanjutan harus mengintegrasikan komponen yang kuat untuk memberdayakan struktur masyarakat lokal untuk mengelola pendaftaran, melakukan penilaian klaim awal, dan mempelopori kesadaran masyarakat fungsi yang paling tangguh ketika terdesentralisasi.
Terpenting lagi adalah tantangan-tantangan ini tidak terpisah. Mereka berinteraksi untuk membentuk siklus kerapuhan operasional yang ganas dan memperkuat diri. Asimetri informasi melahirkan seleksi yang merugikan, yang pada gilirannya menuntut subsidi zakat yang lebih tinggi, sehingga membebani dana zakat dan memperkuat risiko likuiditas. Ketidakpastian keuangan ini, ketika digabungkan dengan rintangan logistik dan peraturan yang tidak dapat diatasi, secara sistematis mengikis kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Erosi kepercayaan ini kemudian masuk ke dalam sistem, semakin memperburuk masalah asli seleksi yang merugikan. Model ini dengan demikian berisiko terjebak dalam siklus di mana intervensi yang bertujuan untuk mengurangi satu kerentanan secara tidak sengaja mengintensifkan yang lain.
Sinergi Lembaga Zakat dan Asuransi
Sementara kedua entitas secara filosofis berlabuh pada prinsip-prinsip Islam tentang solidaritas sosial dan saling membantu (ta'awun), dunia operasional mereka tetap sangat terpisah. Biasanya, lembaga zakat berfungsi sebagai saluran bantuan pasca bencana, dengan fokus pada kebutuhan konsumtif segera seperti makanan, air, dan tempat tinggal sementara (Ahmed, 2018). Operator asuransi, sebaliknya, dirancang secara arsitektur untuk transfer risiko pre-emptive. Hal ini menciptakan ketidakselarasan temporal dan filosofis yang mendasar mengadu amal reaktif dengan mitigasi risiko proaktif yang berfungsi sebagai hambatan utama untuk sinergi, yang pada akhirnya menghasilkan bantuan yang terfragmentasi dan inefisiensi sistemik di seluruh siklus manajemen bencana.
Badan zakat, seringkali beroperasi di bawah mandat pemerintah yang kaku, dibatasi oleh kewajiban fidusia yang menekankan pengalihan aset secara langsung dan tanpa syarat kepada delapan penerima manfaat yang ditentukan (asnaf), terutama yang miskin dan membutuhkan (fuqara dan masakin). Kerangka kerja ini secara inheren membatasi kapasitas mereka untuk terlibat dalam kemitraan gaya komersial atau pra-komitmen dana ke mekanisme pengumpulan risiko (Mokhtar & Abdul Rahman, 2021). Penyelenggara asuransi, sebaliknya, bertanggung jawab kepada otoritas jasa keuangan dan terikat oleh mandat solvabilitas dan penjaminan emisi yang sesuai dengan syariah. Dikotomi regulasi ini secara aktif menghambat inovasi instrumen keuangan yang dapat menjembatani kedua domain tersebut, seperti produk asuransi parametrik untuk bencana, yang berpotensi didanai oleh zakat.
Arus zakat sangat banyak disalurkan ke dalam dukungan konsumtif dan rehabilitasi jangka pendek. Meskipun penanganan penderitaan manusia langsung ini tidak dapat disangkal kritis, hal ini anehnya mengabaikan fase kesiapsiagaan dan mitigasi pra-bencana yang penting, sehingga meninggalkan masyarakat dalam keadaan rentan yang terus-menerus. Sebaliknya, asuransi, meskipun dirancang untuk pemulihan keuangan, memerlukan pembayaran premi yang seringkali sangat mahal bagi masyarakat yang paling terpapar bencana penerima manfaat utama zakat. Ketidaksesuaian ini menciptakan kesenjangan perlindungan yang merusak, secara sistematis mengecualikan yang paling rentan dari sistem pembagian risiko formal. Kegagalan untuk menerapkan zakat secara strategis untuk mensubsidi premi asuransi bagi masyarakat miskin dengan demikian merupakan peluang yang terlewatkan untuk pembiayaan risiko terintegrasi.
Khususnya, wacana ilmiah yang ada, termasuk resolusi dari ahli fikih, telah lama mengizinkan penggunaan zakat untuk melunasi hutang orang yang pailit. Dengan perluasan logis, kasus yang menarik, namun sebagian besar belum dieksplorasi, dapat dibangun untuk memanfaatkan zakat untuk menutupi kontribusi asuransi bagi asnaf yang memenuhi syarat, secara efektif mengasuransikan mereka dari peristiwa bencana (Ali & Nisar, 2020). Model ini menjanjikan untuk mengubah zakat dari mekanisme pembebasan ex-post murni menjadi alat ex-ante yang kuat untuk pemberdayaan dan pembangunan ketahanan. Namun, tidak adanya program terstruktur seperti itu saat ini menunjukkan kegagalan besar dalam dialog lintas institusi dan inovasi keuangan.
Data secara konsisten mengungkapkan kurangnya protokol standar untuk penilaian kebutuhan bersama atau pendaftaran penerima manfaat terpadu antara kedua entitas. Pengasingan operasional ini pasti mengarah pada duplikasi upaya yang membuat frustrasi di beberapa area dan kelalaian kritis yang mengancam jiwa di daerah lain. Misal, sebuah rumah tangga mungkin menerima rezeki segera (zakat) namun tidak memiliki sarana untuk membangun kembali rumah mereka yang rusak kerugian yang biasanya ditanggung oleh klaim asuransi. Tidak adanya platform digital bersama untuk pertukaran data hanya memperburuk inefisiensi ini, mencegah pemahaman holistik tentang kebutuhan penerima manfaat dan dengan demikian bertentangan dengan prinsip Islam alokasi sumber daya yang optimal (maslahah).
Menariknya, sementara tujuan yang lebih tinggi (maqashid) dari kedua lembaga jelas selaras dalam melestarikan kekayaan (hifz al-mal) dan kesejahteraan masyarakat, integrasi operasional mereka menimbulkan pertanyaan hukum bernuansa yang masih belum terselesaikan. Di antaranya diizinkannya pencampuran dana zakat dengan kumpulan risiko asuransi dan penilaian gharar (ketidakpastian yang berlebihan) pada produk bencana parametrik. Saat ini, dewan syariah lembaga zakat dan operator asuransi berfungsi secara terpisah, pemisahan yang menghalangi penerbitan resolusi kolaboratif yang diperlukan untuk melegitimasi dan memandu pengembangan produk terintegrasi.
Peneliti menegaskan bahwa kedua sektor memang sedang mengalami transformasi digital, namun mereka berkembang di sepanjang jalur paralel yang tidak berpotongan. Lembaga zakat memperjuangkan platform untuk penagihan dan distribusi, sementara operator asuransi berinvestasi di InsurTech untuk penjaminan emisi dan klaim. Kegagalan untuk merancang sistem yang dapat dioperasikan sejak awal ini, sayangnya, telah mendirikan silo digital baru. Namun, munculnya teknologi blockchain menawarkan jalur baru dan menjanjikan. Penerapannya dapat memungkinkan sistem yang transparan dan berbasis kontrak pintar di mana kontribusi zakat secara otomatis memicu pembayaran asuransi pada peristiwa bencana yang diverifikasi, sehingga memastikan kecepatan, transparansi, dan akuntabilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya (Hassan et al., 2022).
Pemimpin dalam lembaga zakat sering muncul dari latar belakang sosial atau agama, di mana penekanan ditempatkan pada kepercayaan (amanah) dan dispensasi amal secara langsung. Sebaliknya, kepemimpinan asuransi didominasi oleh para profesional dari keuangan atau asuransi konvensional, yang fokusnya secara alami berorientasi pada manajemen risiko dan kelayakan komersial. Perbedaan dalam sosialisasi profesional ini menumbuhkan prioritas yang berbeda dan kurangnya bahasa yang sama untuk kolaborasi. Menjembatani kesenjangan kognitif ini memerlukan inisiatif yang ditargetkan yang menerangi nilai kolaborasi strategis, bukan sekadar transaksional, dalam memenuhi mandat sosial bersama mereka.
Lembaga penanggulangan bencana nasional, misalnya, sering kali tidak memiliki mandat khusus atau keahlian teknis untuk mendorong kemitraan antara entitas keuangan sosial Islam. Selain itu, ada kelangkaan insentif fiskal, seperti keringanan pajak atau hibah pencocokan, yang dirancang untuk mendorong operator asuransi mengembangkan produk promiskin bersama dengan badan zakat. Akibatnya, kerangka kebijakan proaktif yang secara eksplisit mengakui dan memberi insentif kepada sinergi ini sangat diperlukan untuk transisi dari kerja sama adhoc, seringkali bergantung pada kepribadian ke strategi ketahanan bencana nasional yang terstruktur dan terukur, terutama di negara-negara OKI yang rentan.
Model yang berlaku secara efektif mengkotak-kotakkan tugas perawatan: zakat mengatasi kesulitan langsung, sementara asuransi beroperasi sebagai solusi berbasis pasar bagi mereka yang memiliki daya beli. Model yang benar-benar terintegrasi, yang benar-benar mewujudkan prinsip asuransi (solidaritas) dalam arti penuhnya, akan mengkonseptualisasikan lembaga-lembaga ini bukan sebagai entitas yang terpisah tetapi sebagai organ pelengkap dari satu tubuh. Sistem semacam itu akan mengelola seluruh spektrum risiko dengan mulus mulai dari pencegahan pra-bencana hingga bantuan segera dan pemulihan jangka panjang memastikan bahwa tidak ada warga negara yang terlewatkan.
Hal ini bergerak melewati desakan sederhana untuk "lebih banyak kolaborasi" untuk secara tepat mengidentifikasi titik kegagalan kelembagaan: jurang peraturan, model keuangan berbasis fikih yang kurang dieksplorasi, lintasan digital paralel namun terputus, dan disonansi kepemimpinan yang mendalam. Dengan demikian, ini memberikan peta jalan yang jelas dan multi-dimensi untuk intervensi, mengemukakan bahwa solusi yang efektif harus secara merangkap teknis misalnya, platform yang dapat dioperasikan, keuangan misalnya, subsidi premi yang didanai zakat, dan berorientasi tata kelola misalnya, dewan penasihat syariah bersama.
Analisis ini dengan kuat menegaskan bahwa mencapai respons bencana yang efektif, bermartabat, dan tangguh memerlukan perubahan paradigma dari tindakan terisolasi menjadi ekosistem sinergis yang dikembangkan secara sadar. Oleh karena itu, upaya masa depan harus fokus pada pembangunan jaringan ikat di setiap tingkatan, memanfaatkan rekayasa keuangan yang inovatif, mendorong kerangka peraturan yang selaras, dan memperjuangkan tata kelola syariah terpadu. Hanya melalui pendekatan holistik seperti itu, kita dapat mewujudkan model pembiayaan risiko bencana yang tidak hanya tangguh dan komprehensif tetapi juga otentik islami, sepenuhnya mewujudkan tujuan yang lebih tinggi dari syariah (maqashid al-syariah) dalam menjaga kehidupan dan memelihara kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
Tinjauan literatur ini secara kritis mensintesis wacana tentang pengintegrasian zakat dan asuransi untuk mitigasi risiko bencana, mengungkapkan paradoks yang signifikan. Meskipun sinergi teoretis menarik, operasionalisasinya penuh dengan tantangan yang mendalam dan saling berhubungan. Kontribusi utama kami terletak pada dekonstruksi kesenjangan ini secara sistematis, bergerak melampaui advokasi teoretis untuk mengekspos hambatan kritis dari seleksi yang merugikan, subsidi silang yang tidak berkelanjutan, dikotomi peraturan, dan kemacetan logistik yang kurang dieksplorasi dalam literatur sebelumnya. Studi ini menyimpulkan bahwa model terfragmentasi yang berlaku pada dasarnya bertentangan dengan semangat holistik maqashid al-syariah, dan bahwa pergeseran paradigma transformatif memposisikan ulang zakat dari amal reaktif menjadi modal risiko proaktif tidak hanya bermanfaat tetapi penting untuk membangun ketahanan berbasis komunitas yang asli. (*)


















































