Ilustrasi(Dok Ist)
DI seluruh dunia, diperkirakan 300 juta orang menderita asma, 200-250 juta orang mengalami alergi makanan, dan 400 juta orang hidup dengan rinitis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan asma saja memicu sekitar 250 ribu kematian setiap tahun. Angka prevalensi penyakit alergi, terutama dalam bentuk lebih parah, terus menunjukkan tren peningkatan.
Penyakit alergi yang mencakup kondisi serius seperti anafilaksis, alergi makanan, beberapa jenis asma, rinitis, konjungtivitis, angioedema, urtikaria, eksim, serta alergi terhadap obat dan serangga, kini menjadi perhatian utama kesehatan global.
Kawasan Asia Pasifik yang merupakan rumah bagi dua pertiga populasi dunia, menanggung beban besar dari penyakit ini. Faktor lingkungan seperti perubahan iklim, yang dipicu pemanasan global akibat akumulasi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, polusi udara, dan penurunan keanekaragaman hayati, menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia.
Dampak buruknya terasa pada berbagai penyakit tidak menular atau penyakit gaya hidup, dengan penyakit alergi menjadi paling umum. Indonesia, seperti negara Asia lainnya, juga menghadapi peningkatan prevalensi asma serta bentuk alergi makanan yang lebih parah dan anafilaksis. Situasi ini diperburuk faktor lingkungan termasuk masalah kabut asap lintas batas yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
“Perubahan iklim adalah krisis kesehatan global. Dampaknya bukan hanya pada paru-paru, tapi juga sistem kekebalan tubuh, memicu peningkatan penyakit alergi dan asma semua kelompok usia,” kata Executive Director and Past President Asia Pacific Association of Allergy, Asthma and Clinical Immunology (APAAACI) Prof Ruby Pawankar, Selasa (4/11).
Merespons hal itu, Asia APAAACI melalui forum APAAACI Congress 2025 menyampaikan sejumlah poin terkait dampak perubahan iklim serta dampak terhadap penyakit, khususnya penyakit alergi dan asma.
Ruby mengatakan sejumlah poin itu antara lain perlunya tindakan segera untuk mengatasi perubahan iklim pada sektor ekonomi dan sosial.
Kedua, pentingnya kebijakan pemerintah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, memulihkan keanekaragaman hayati, serta menekan polusi udara di dalam dan di luar ruangan.
Ketiga, upaya mitigasi lain seperti meningkatkan efisiensi energi pada kendaraan dan bangunan dan mengurangi paparan terhadap zat-zat beracun.
Keempat, peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat soal pentingnya pola makan sehat dan seimbang sebagai upaya pencegahan penyakit alergi.
Kelima, penerapan pendekatan One Health multidisiplin, yang menekankan hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno mengapresiasi APAAACI Congress 2025 sekaligus menyampaikan pentingnya inovasi medis, pemerataan akses, dan kerja sama global menghadapi tantangan kesehatan respirasi dan imunologi.
Pemerintah, kata Menko PMK, berkomitmen membangun ekosistem yang mendukung inovasi kesehatan melalui regulasi jelas, investasi pada ilmuwan dan tenaga kesehatan, serta memastikan manfaat inovasi dapat diakses seluruh lapisan masyarakat.
“Inovasi tanpa akses adalah janji tak terpenuhi. Kita harus membangun sistem kesehatan yang maju sekaligus adil,” tegasnya.
Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Prof Iris Rengganis menuturkan kesempatan jadi tuan rumah adalah bentuk pengakuan terhadap peran aktif Indonesia dalam bidang kesehatan lingkungan.
"Dengan jadi tuan rumah, Indonesia tidak hanya menunjukkan kapasitas menyelenggarakan forum internasional, tapi juga memperkuat kolaborasi antarnegara dalam mencari solusi krisis iklim dan kesehatan," ucapnya.
APAAACI Congress 2025 ialah forum ilmiah alergi imunologi di wilayah Asia Pasifik yang menghadirkan berbagai pakar, mulai dari ilmuwan, dokter, dan peneliti terkemuka yang digagas pertama kali oleh Bapak Alergi Imunologi Indonesia (Alm) Prof Karmen Bratawidjaja. (H-2)


















































