
Pakar politik dari The Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, mengingatkan bahwa ekspansi peran militer di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berpotensi membahayakan demokrasi di Indonesia.
Menurut Mietzner, langkah tersebut harus dipahami dalam konteks politisasi rezim, bukan semata-mata menghidupkan kembali dwifungsi ABRI ala Orde Baru.
“Apa yang dilakukan oleh Prabowo bisa membahayakan demokrasi, bisa membahayakan juga peran profesional TNI. Tapi itu sama sekali berbeda dengan konsep dwifungsi yang dipraktikkan pada awal zaman Soeharto,” katanya dalam peluncuran Jurnal Prisma edisi khusus bersama LAB 45 bertajuk “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi” di Jakarta, hari ini.
Marcus menjelaskan, pada masa Orde Baru, dwifungsi militer menempatkan TNI dan Polri (saat itu masih ABRI) sebagai aktor utama yang ikut menjalankan pemerintahan. Sedangkan dalam situasi saat ini, TNI lebih difungsikan sebagai alat untuk memperkuat konsolidasi kekuasaan presiden.
“Dwifungsi militer era Soeharto memberikan peran pemerintahan kepada ABRI secara keseluruhan. Yang menjadi aktor utama waktu itu adalah TNI, bukan Soeharto. Sementara di era Prabowo, TNI diposisikan bukan di depan, melainkan sebagai pembantu dalam upaya rezim mengonsolidasikan posisinya,” jelas Marcus.
Menurutnya, tujuan Presiden Prabowo bukanlah untuk menghidupkan kembali dwifungsi, melainkan memanfaatkan TNI agar tetap berada di bawah kendali presiden dan menopang kekuasaan.
“Tujuannya Prabowo bukan untuk mengembalikan dwifungsi karena itu bukan dalam agenda dan kepentingan dia. Sebagai seorang presiden, dia punya kepentingan supaya TNI tetap diposisikan di bawah kendali presiden,” tegas Marcus.
Selain itu, Ia mengingatkan agar diskursus publik jangan terjebak pada obsesi terhadap isu kebangkitan dwifungsi. Sebaliknya, yang lebih berbahaya justru terletak pada strategi politik baru yang menempatkan TNI dalam peran pendukung konsolidasi kekuasaan rezim.
“Prabowo menurut saya lebih canggih. Ini suatu konsep baru yang disesuaikan dengan zaman abad ke-21, di mana TNI bukan lagi ditempatkan paling depan seperti dwifungsi, tapi diberikan peran untuk memperkuat posisi seorang presiden dengan agenda konsolidasi kekuasaan,” tambahnya.
Senada dengan itu, peneliti dari Lab 45, Baginda Muda Bangsa, menilai bahwa fenomena militerisasi birokrasi yang mulai nampak telah berjalan seiring dengan menguatnya populisme.
“Militerisasi birokrasi beriringan dengan menguatnya populisme. Jadi ada kepentingan dari pemimpin sipil yang terpilih dengan narasi populis tadi untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya secara cepat, dan biasanya dalam konteks demokrasi ini tidak berjalan,” ujar Baginda. (Dev/P-1)