Dunia Usaha Menilai Sektor Manufaktur Belum Sepenuhnya Stabil

1 month ago 31
Dunia Usaha Menilai Sektor Manufaktur Belum Sepenuhnya Stabil Pekerja menyelesaikan pesanan produk tekstil untuk ekspor di pabrik PT Sari Warna Asli Tekstil (Sari Warna) Solo, Jawa Tengah.(Antara/Maulana Surya.)

AKTIVITAS manufaktur Indonesia pada September 2025 mencatat ekspansi tipis. Indeks PMI manufaktur yang dikeluarkan S&P Global menempatkan Indonesia di zona ekspansi dengan skor 50,4, turun dari 51,5 pada Agustus. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyampaikan, angka tersebut menandakan sektor manufaktur belum sepenuhnya stabil dengan indikasi pesanan baru masih meningkat, tetapi volume produksi kembali melemah karena perusahaan melaporkan daya beli pelanggan yang menurun. 

"Temuan ini sejalan dengan indikator lain, khususnya survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus yang turun ke 117,2 dari 118,1 pada Juli," katanya, Rabu (1/10).

Data IKK (Agustus 2025), sambung Shinta, memberikan gambaran lebih rinci, yakni keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan turun 2,4 poin menjadi 116,9. Koreksi ini, beriringan dengan penurunan pada komponen pembelian barang tahan lama (turun 1,5 poin ke 105,1) yang menandakan kecenderungan konsumen menunda konsumsi besar di tengah ketidakpastian ekonomi. 

Sementara itu, persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja juga turun 2,1 poin menjadi 93,2 sehingga kembali masuk ke zona pesimisme (<100). Penurunan paling tajam terjadi di kelompok menengah-bawah. 

"Data ini memperlihatkan bahwa pelemahan daya beli terutama saat ini dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. Jadi, apa yang dilaporkan S&P Global soal lemahnya daya beli memang konsisten dengan survei konsumen domestik (IKK)," beber Shinta.

Namun, lanjut dia, Apindo melihat bahwa PMI bersifat data bulanan dan lebih berperan sebagai early indicator. "Untuk memahami akar persoalan, kita juga perlu melihat tren tahunan dan melakukan benchmarking dengan negara manufaktur lain di kawasan. Jika dibandingkan, tantangan Indonesia tidak hanya di sisi permintaan, tetapi juga aspek struktural yaitu biaya usaha yang tinggi. Ini membuat daya saing manufaktur kita sering tertinggal dari negara tetangga," cetusnya.

Dari sisi jangka pendek, Shinta menyebut bahwa dunia usaha menekankan perlunya stabilitas dan peningkatan daya beli agar tren pesanan baru benar-benar berlanjut menjadi ekspansi output

"Kenaikan biaya input di September (tertinggi sejak Februari) memperlihatkan risiko high cost economy yang menekan margin perusahaan. Jika biaya input, energi, logistik, dan pembiayaan tidak bisa ditekan, kemampuan industri untuk melakukan ekspansi kapasitas dan menyerap tenaga kerja akan terhambat," ungkap dia.

Sementara dari sisi jangka panjang, Apindo menekankan penyederhanaan regulasi dan kebijakan deregulasi lintas sektor sangat penting agar industri lebih adaptif terhadap dinamika global. Shinta menilai, regulasi yang overcomplicated justru mengurangi kelincahan pelaku usaha dalam merespons perubahan pasar dan ketidakpastian global. 

"Karena itu, benchmarking terhadap kawasan perlu menjadi bahan refleksi, supaya kita bisa mengidentifikasi kebijakan mana yang perlu diperbaiki agar daya saing manufaktur Indonesia meningkat secara berkelanjutan," ujarnya.

Dengan demikian, dirinya berpendapat indikator bulanan seperti PMI manufaktur membantu pemerintah membaca tren jangka pendek, sementara yang lebih menentukan adalah langkah struktural dalam memperkuat daya beli domestik, menurunkan biaya usaha, dan melakukan deregulasi. 

Ia meyakini, jika kedua sisi ini berjalan beriringan, optimisme pelaku usaha yang saat ini tercatat tertinggi sejak Mei (data PMI business confidence) dapat benar-benar terwujud dalam bentuk peningkatan produksi riil, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan daya saing manufaktur Indonesia di level regional maupun global. (Fal/E-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |