
PAKAR kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mengevaluasi total proses rekrutmen Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) yang diduga sarat praktik pungutan liar (pungli).
Ia menilai, kasus ini mencerminkan kerusakan birokrasi yang kronis dan melibatkan aktor dari dalam sistem pemerintahan itu sendiri.
“Investigasi juga perlu dilakukan untuk mengungkap apakah pungli dilakukan individu atau berlangsung secara sistematis. Kalau terbukti, harus melibatkan aparat penegak hukum. Mereka wajib disanksi hukum, bahkan status PNS-nya bisa dicabut,” ujar Trubus saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (16/7).
Menurutnya, semua pihak yang terlibat dari ketua panitia hingga pelaksana teknis harus diperiksa dan diproses sesuai hukum.
Ia melihat adanya indikasi kuat bahwa pungli dalam seleksi PPSU merupakan bagian dari upaya terstruktur untuk memanfaatkan kerentanan para pencari kerja.
“Itu cerminan upaya sistematis di tengah kesulitan pekerjaan. Mereka memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan dari calon PPSU. Ini pelanggaran hukum, tak elok, dan memperlihatkan betapa bobroknya birokrasi di Pemprov,” kritiknya.
Ia mendorong adanya pengawasan dilakukan secara ketat dengan melibatkan lembaga-lembaga independen seperti Ombudsman dan kepolisian.
“Kalau sudah dari awal, bisa jadi memang disengaja. Mereka mengatur proses dengan berbagai celah yang dimanfaatkan. Ini jelas memalukan dan melanggar etika birokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut kondisi ini sebagai tantangan serius bagi duet kepemimpinan baru Jakarta, Pramono Anung dan Rano Karno. Ia menilai perlu keberanian untuk memutus mata rantai persekongkolan yang sudah berlangsung lama.
“Ini sudah kronik. Jangan sekali-sekali hanya diurus ASN Pemprov. Harus libatkan pihak luar agar bersih dan transparan. Jakarta semestinya menjadi teladan dalam tata kelola pemerintahan, bukan justru dicoreng oleh praktik pungli,” pungkasnya.
Pungli Cerminan Kegagalan Sistem Merit
Senada, Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina menyatakan keprihatinannya terhadap pola perekrutan kerja yang tidak transparan, termasuk yang terjadi pada kasus Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PSSU) di Jakarta.
Ia menilai, persoalan tersebut mencerminkan gagalnya implementasi sistem merit di berbagai lembaga negara.
“Saya amat prihatin dengan fenomena ini, karena dari beberapa kajian angka pengangguran di negara kita cenderung naik,” kata Nia, Rabu (16/7).
Menurut Nia, akar permasalahan terletak pada elite politik yang belum secara serius menerapkan merit system dan prinsip the right man in the place.
Hal ini kemudian berdampak luas pada lemahnya tata kelola kelembagaan di hampir seluruh sektor pemerintahan.
“Termasuk tadi sistem perekrutan pegawai, tak terkecuali kasus PSSU ini,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kuatnya budaya patron-klien yang masih melekat dalam struktur sosial-politik Indonesia. Dalam sistem ini, pemimpin menjadi pusat imitasi, dan setiap tindakan elit dengan cepat ditiru oleh bawahan hingga masyarakat luas.
“Jadi apa yang dilakukan oleh pimpinan atau Presiden akan segera ditiru oleh masyarakat luas, termasuk bawahannya,” ucapnya. (Far/M-3)