DPR: Penanganan Kejahatan Digital Lebih Mendesak daripada Sertifikasi Influencer

3 hours ago 1
 Penanganan Kejahatan Digital Lebih Mendesak daripada Sertifikasi Influencer Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan(MI/M IRFAN)

WACANA pemerintah menerapkan sertifikasi bagi para influencer di media sosial menuai perdebatan. Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, Nico Siahaan, menilai persoalan utama ruang digital Indonesia bukan terletak pada sertifikasi, melainkan pada maraknya akun anonim, penipuan online, dan kebocoran data.

"Masalah utama di dunia digital kita bukan cuma siapa yang punya sertifikat, tapi siapa yang bersembunyi dibalik anonim. akun tanpa identitas masih bebas menyebar fitnah, hoaks, ujaran kebencian sampai penipuan tapi lolos dari tanggung jawab" kata Nico dalam keterangan yang diterima, Rabu (5/11).

Nico merujuk pada Asia Scam Report 2024 yang diterbitkan Global Anti-Scam Alliance (GASA), yang menyebut 65% warga Indonesia menjadi target scam setiap minggu, dan sebagian besar dilakukan oleh akun anonim.

"Makanya, sebelum bahas sertifikasi influencer, yuk tuntaskan dulu soal mitigasi dan penegakan hukum terhadap akun-akun anonim dan scammer yang merusak ruang publik digital." lanjutnya

Nico mengingatkan Kemkomdigi agar tidak sekadar meniru regulasi luar negeri tanpa mempertimbangkan konteks Indonesia.

"Dari mulai kasus penipuan dan kebocoran data yang terus-terusan terjadi, harusnya Kemkomdigi bisa nentuin prioritas antara mengisi kekosongan hukum dan memperkuat penegakan regulasi atau buat regulasi tambahan yang belum urgent." ujarnya

"Kompetensi perlu dijaga, tapi jangan sampai kebijakan ini justru mengekang kebebasan berekspresi. Kita ingin ruang digital tetap sehat sekaligus aman dan terbuka." ungkapnya

Nico merasa, berbagai kasus kebocoran data dan masalah dari anonimitas jauh lebih penting dibandingkan sertifikasi influencer

"Kenapa mengatasi anonimitas akun dan kebocoran data lebih penting?Karena keduanya udah kejadian dan nimbulin korban sama kerugian." pungkasnya

Pengamat komunikasi digital dari Unika Soegijapranata, Paulus Angre Edvra, menilai kebijakan sertifikasi seperti yang diterapkan di Tiongkok berpotensi menimbulkan pembatasan kebebasan jika diterapkan mentah-mentah di Indonesia.

Paulus mengingatkan bahwa banyak kreator digital yang kompeten meski tidak memiliki gelar akademis.

"Jangan sampai setelah ada izin, influencer jadi tidak bebas mengkritik. Takutnya terjadi pembungkaman atau pengarahan oleh pemerintah. Bagaimana pun juga kan ada track record-nya ya di Indonesia itu bahwa media itu digunakan untuk propaganda untuk mungkin menyelamatkan wajah pemerintah gitu. Nah, ini yang perlu di kita awasi gitu," ujarnya. (P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |