Dosen Bidang Pangan dan Gizi Unsil Tasikmalaya Desak SPPG Harus Miliki Sertifikat

2 months ago 33

KASUS keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di beberapa daerah seperti di Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Bandung Barat, dan Jakarta. Untuk mencegah keracunan terus berulang, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus memenuhi standar dan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai penjamin.

Dosen Prodi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya, Bidang Pangan dan Gizi, Annisa Dwi Utami, mengatakan program MBG sebenarnya cukup baik untuk mempercepat penurunan stunting. Percepatan tersebut memang perlu dilakukan sebagai upaya mengejar penurunan target prevalensi stunting 14,2% pada 2029 dan 5% 2045. Saat ini angka stunting berada di angka 19,8% berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024.

"Kasus keracunan massal pada program makan bergizi gratis (MBG) sangat disayangkan. Saya lihat laporan CISDI per 19 September tercatat ada 5.626 kasus (keracunan MBG) di 17 provinsi dan angkanya terus bertambah. Akan tetapi, kejadian tersebut dapat dicegah jika monitoring berjalan dan dilakukan oleh pemegang program, baik saat awal beroperasi maupun ketika sudah berjalan," katanya, Kamis (25/9).

Ia mengatakan, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus memenuhi standar desain fasilitas dapur termasuk memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai syarat mutlak sebelum operasional dijalankan.

Syarat itu sudah cukup baik sebagai langkah awal penjaminan keamanan makanan akan diproduksi kalau dijalankan sesuai standar operasional prosedur (SOP).

"Sebagai langkah awal harus dipenuhi dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau ahli gizi wajib memastikan setiap pramusaji dan pramumasak memahami serta menerapkan prinsip dasar personal hygiene dalam pengolahan makanan mulai aturan penggunaan masker, penutup kepala, sarung tangan, celemek, mencuci tangan dengan sabun, menutup luka, tidak menggunakan perhiasan, aksesoris serta lainnya dan kondisi sehat saat bekerja," ujarnya.

Menurut Annisa, penggunaan bahan makanan juga harus diperhatikan. Sebaiknya menggunakan bahan pangan lokal supaya lebih mudah ditemukan sehingga kondisinya lebih segar dan lebih familiar untuk anak. Selain itu, akan lebih baik jika setiap SPPG punya standar kualitas seperti spesifikasi bahan baku yang digunakan dan memilih supplier berdasarkan standar tersebut.

"Jadi misalkan untuk daging ayam segar berdasarkan apa, warna daging, aroma, tekstur dagingnya seperti apa itu masuk ke standar mutu. Namun, untuk keracunan massal perlu dicari tau dulu kemungkinan terjadi kontaminasi, apakah dari bahan kurang segar, pekerja, lingkungan kurang bersih, penanganan makanan setelah dimasak dan distribusi kurang tepat," katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa disorot dari kasus keracunan yang sudah terjadi seperti dari penggunaan peralatan seperti pisau, talenan harus dibedakan untuk penggunaan bahan mentah, sayuran, buah, atau makanan matang.

Karena, SPPG biasanya memproduksi dalam waktu terbatas. Untuk itu, makanan harus dipastikan matang dengan baik dan cara kerja harus diperhatikan.

"Apakah ada bahan dapat dipersiapkan lebih awal, disimpan dalam kulkas saat waktu baru masak dan harus diperhatikan agar tidak terburu-buru. Suhu dan tempat penyimpanan makanan yang sudah dimasak saat pemorsian dan saat distribusi harus diperhatikan. Jangan membiarkan makanan sudah dimasak ada pada suhu ruang lebih dari 2 jam, jika disimpan, pastikan di bawah 5 derajat atau lebih dari 60 derajat celsius sebelum disajikan. Karena, suhu 5-60 derajat celsius adalah titik kritis berkembangnya bakteri patogen," jelasnya.

Menurut dia, jika pengetahuan terkait tata kelola dapur dan personal hygiene, cara handling makanan tepat setelah dimasak, distribusi, serta pemilihan bahan lokal segar dipahami dan diimplementasikan dengan baik maka kejadian keracunan dapat dicegah.

Namun, perlu ada kolaborasi lintas sektor dan institusi terutama untuk mengevaluasi kembali cara kerja serta implementasi program MBG tersebut.

"Saya rasa Badan Gizi Nasional (BGN) perlu menggandeng Persagi, Pergizi Pangan dan PGRI, jika sasarannya anak sekolah untuk memastikan implementasi MBG berjalan dengan lebih baik dan anak-anak kita juga mendapat makanan dengan nutrisi baik dan layak mendukung tumbuh kembang anak. Pangan lokal juga menjadi opsi lebih baik, karena mudah didapat dan biasanya lebih segar supaya anak biasa mengonsumsi," pungkasnya. (AD/E-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |