
DEMOKRASI Indonesia kini masuk kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Berdasarkan laporan The Economist, civil liberty, governance function, dan political culture mengalami pelemahan, sementara kecenderungan otoritarian semakin menguat.
Demikian pandangan Direktur Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, di sela seminar nasional bertajuk Menguji Ketahanan Demokrasi di Tengah Belitan Populisme, Oligarki, dan Ketidakpastian Ekonomi Politik, Rabu (24/9).
Hadir pula sebagai pembicara, yaitu peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, pakar pemilu dan demokrasi sekaligus dosen HTN FH-UI Titi Anggraini, serta jurnalis senior Budiman Tanuredjo.
“Demokrasi kita tidak sepenuhnya buruk, tetapi jelas belum cukup baik. Banyak perbaikan mendesak, mulai dari arsitektur pemilu hingga reformasi institusi keamanan,” ujar Khoirul Umam.
Menurut dia, Gerakan Rakyat Agustus menjadi wake up call untuk meninjau ulang jadwal pemilu, model pemilu, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan presiden.
Sementara itu, Firman Noor menyoroti gejala stagnasi demokrasi Indonesia. Ia menilai pemilu di negeri ini tampak kompetitif, tetapi masih sarat manipulasi, money politics, serta intervensi kekuasaan.
“Oposisi absen di parlemen, hukum dijalankan untuk kepentingan rezim, dan partai politik gagal menjalankan kaderisasi. Kondisi ini membuat publik makin apatis, sementara oligarki semakin dominan,' ujarnya.
Ia pun menekankan bahayanya tirani minoritas, yakni kekuasaan elite yang menyebabkan korupsi, nepotisme, dan konsentrasi sumber daya hanya pada segelintir orang.
Dari perspektif media, Budiman Tanuredjo memandang jurnalisme tengah menghadapi tantangan besar di era platformocracy dan populisme. Negara terlalu kuat mengontrol regulasi, sementara media sosial mengarahkan opini publik tanpa kedalaman. “Fungsi pers bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan menjadi kontrol sosial dan berpihak pada kebenaran."
Ia mengingatkan bahwa jurnalisme sering terjebak pada multiple quoting tanpa verifikasi kebenaran sehingga publik kesulitan membedakan informasi yang sahih. "Media tidak boleh didikte oleh klik dan rating," ucap Budiman.
Adapun Titi Anggraini mengingatkan soal independensi penyelenggara pemilu. Menurut dia, Bawaslu, KPU, dan DKPP seharusnya berperan sebagai fourth branch of power, bukan proksi kekuasaan.
“Revisi UU Pemilu gagal, penataan dapil dan kuota perempuan tak berjalan, bahkan masa jabatan penyelenggara diperpanjang. Ini membuat publik kehilangan representasi politik yang sejati. Pemisahan pemilu nasional dan daerah menjadi krusial untuk memperbaiki sistem. Selain itu, sistem pemilu juga harus dievaluasi," katanya.
Sistem proporsional terbuka, imbuhnya, telah membuka celah besar bagi politik transaksional. Pilihan alternatif adalah sistem campuran yang lebih akuntabel. Titi menambahkan bahwa civil society, media, dan universitas harus terus terkonsolidasi menjaga demokrasi.
Ia berharap seminar ini menjadi refleksi kritis sekaligus tawaran solusi agar demokrasi Indonesia tidak terjebak dalam stagnasi. “Demokrasi membutuhkan perbaikan kelembagaan, penguatan oposisi, serta komitmen media pada kebenaran agar tetap tahan terhadap godaan populisme, cengkeraman oligarki, dan ketidakpastian ekonomi politik global," tandasnya. (P-2)