
SEORANG pengendara ojek online kehilangan nyawa setelah ditabrak kendaraan Brimob. Tragedi itu menyulut kecamuk: demonstrasi mahasiswa, buruh, warganet, dan pelajar meledak di jalanan Jakarta, Medan, Surabaya, Pontianak, diikuti demo di berbagai daerah. Tubuh-tubuh yang dahaga ruang politik untuk bersuara, kini berbicara lantang: “kami kecewa, tolong dengar!”
Indonesia kini berada di titik kritis dengan dua saluran aspirasi rakyat yang mengemuka. Pertama, jalanan, gelombang aksi fisik yang menuntut perhatian serius. Kedua, saluran digital: jutaan status, komentar, meme, video TikTok, dan utas Twitter menyuarakan kekecewaan, kritik tajam terhadap kebijakan anggaran, ketimpangan, dan tak adanya keadilan. Media sosial bukan lagi sekadar kanal informasi, ia berubah menjadi arena legitimasi rakyat untuk menegaskan hak vokalnya.
Karena ini bukan sekadar soal suara yang berteriak. Ini soal legitimasi pemerintahan. Saat rakyat turun ke jalan, atau mengetik protes lewat layar ponsel, mereka menagih bentuk narasi baru: reformasi substantif dalam sistem hukum, ekonomi, sosial, dan demokrasi. Ketiadaan lapangan kerja, pajak yang tajam di tangan rakyat biasa, tunjangan pejabat yang jadi sorotan, semuanya bersifat struktural.
Pemerintah tak bisa lagi menikmati "pujian" melalui prestasi pembangunan fisik, sementara ketegangan sosial meruyak di khalayak publik. Protes dan kritik digital menuntut respons: bukan sekadar pernyataan, tapi solusi nyata. Baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif kini dihadapkan pada tes: apakah mereka bisa menjawab kritik rakyat dengan perbaikan autentik?
Ketidakadilan Fiskal
Reformasi hukum dan penegakan keadilan harus dimulai dari investigasi transparan terhadap insiden demonstrasi, termasuk soal kematian Affan. Publikasikan proses dan hasil penyelidikan, dengan penasihat independen bila perlu. Hentikan kriminalisasi warga sipil dan pastikan aparat bersikap proporsional, jangan jadi alat represi, tapi penjaga demokrasi.
Ketimpangan dan ketidakadilan fiskal harus segera diatasi. Reformasi pajak harus berpihak ke yang lemah: kurangi beban pajak bagi pekerja informal, mahasiswa, pelaku UMKM. Perlu juga kaji ulang tunjangan pejabat publik agar masuk akal dan proporsional—tak tajam di kepala rakyat biasa. Implementasikan anggaran berbasis kebutuhan sosial nyata dalam infrastruktur, lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan—bukan untuk pemanis politik atau pemegang kursi kekuasaan.
Lapangan kerja dan jaminan sosial harus diperluas dengan melibatkan dunia usaha dan pendidikan untuk menciptakan pelatihan vokasi berbasis kebutuhan industri ke depan, khususnya di sektor digital, hijau, dan manufaktur modern. Bantuan sosial juga harus diperkuat, baik dalam bentuk subsidi langsung atau jaring pengaman bagi keluarga yang terdampak inflasi, kenaikan harga pangan, dan ketidakstabilan ekonomi.
Demokrasi partisipatif dan ruang publik digital harus dihidupkan kembali. Pemerintah perlu membangun platform dialog online yang difasilitasi secara independen. Libatkan mahasiswa, pekerja, dan warga biasa dalam diskusi kebijakan terbuka, bukan hanya lewat komentar media sosial. Saluran aspirasi rakyat harus didesain ulang melalui mekanisme e-democracy, anggaran berbasis partisipatif, dan kawalan publik terhadap kebijakan melalui komunitas lokal.
Sistem Merespons
Reformasi birokrasi dan kinerja publik juga tidak kalah penting. Biaya birokrasi harus dievaluasi, langkah prosedural yang tak perlu harus dipangkas, dan layanan publik harus dipermudah lewat digitalisasi. Publikasi scorecard kinerja daerah, capaian pendidikan, kesehatan, ekonomi, harus dibuka agar masyarakat bisa mengawasi dan memberi masukan secara langsung.
Karena ini bukan krisis biasa. Ini adalah sinyal bahwa rakyat menuntut negara hadir secara nyata, bukan hanya lewat slogan atau struktur. Bila pemerintah merespons dengan reformasi substantif, bukan retorika belaka, maka gelombang protes ini bisa menjadi momentum kebangkitan demokrasi yang inklusif dan akuntabel. Namun sebaliknya, kalau sikap represif dipertahankan, kritik dibungkam, atau solusi digeser oleh narasi keamanan semata, maka legitimasi pemerintah, di mata rakyat, akan terus terkikis. Dan sekali ini terjadi, pemerintahan kehilangan pondasi moralnya, sementara masyarakat bisa beralih ke karpet instabilitas yang lebih dalam.
Demo di jalanan dan kecaman di media sosial bukan kemenangan oposisi, melainkan suara rakyat yang menagih kehadiran negara secara hakiki. Pemerintah, DPR, dan lembaga peradilan berdiri di persimpangan jalan: mau bertransformasi atau bertahan dalam proteksi diri. Rakyat sudah bersuara, sekarang giliran sistem untuk merespons—dengan tulus, kuat, dan berpihak.
Karena reformasi sejati lahir bukan dari instruksi tertulis semata, tetapi dari keberanian melembagakan keadilan, kesejahteraan, dan demokrasi yang menyentuh rakyat sederhana. Itulah yang rakyat tuntut hari ini, andalannya hanyalah tindakan nyata