
PARA peneliti di University of California San Francisco (UCSF) menemukan cara baru untuk menangani nyeri kronis tanpa menggunakan obat-obatan. Berdasarkan laporan dari CNN Health, penelitian ini mendapat dukungan hibah US$7,56 juta dari National Institutes of Health (NIH), tim yang dipimpin Dr. Prasad Shirvalkar meneliti penggunaan deep brain stimulation (DBS).
Teknologi DBS ini sebelumnya dipakai untuk penderita Parkinson sebagai alat pereda nyeri pada otak. Jika pada pasien Parkinson DBS bekerja dengan mengganggu sinyal abnormal penyebab tremor, kekakuan, dan gerakan lambat, maka pada nyeri kronis teknologi ini diarahkan untuk menekan sinyal rasa sakit sebelum sampai ke tubuh.
“Ada banyak pasien yang sudah gagal dengan semua terapi yang tersedia. Mereka mencoba puluhan obat, suntikan, hingga alat stimulasi saraf, tapi tetap tidak ada yang membantu,” ujar Shirvalkar.
Shirvalkar menekankan nyeri kronis bukan hanya soal cedera fisik. Setelah nyeri berlangsung lama, otak bisa “belajar” untuk terus mengirim sinyal nyeri, meski sumber sakitnya sudah hilang.
Untuk nyeri akut, sinyal sakit berguna sebagai peringatan ada masalah. Tapi pada nyeri kronis, sinyal itu terus berbunyi tanpa alasan jelas, sehingga tubuh terus merasa sakit.
“Kami mulai menyadari bahwa otaklah yang menghasilkan atau mempertahankan sinyal nyeri tersebut. Pertanyaannya, bagaimana cara mengenali sinyal itu dan berusaha memutusnya?” tambahnya.
Dalam uji coba terhadap enam pasien selama hampir dua tahun, hasilnya dinilai memuaskan. Pasien yang mendapat perawatan dari penelitian ini melaporkan penurunan nyeri hingga 60 persen.
Penggunaan pada Pasien Nyeri Otak
Salah satu pasien yang merasakan langsung manfaat teknologi ini adalah Edward Mowery, 55, asal New Mexico. Ia telah bertahun-tahun hidup dengan complex regional pain syndrome (CRPS), gangguan saraf yang menyebabkan rasa sakit hebat meski tanpa cedera.
Mowery menggambarkan rasa sakitnya seperti ditekan di atas wajan panas tanpa henti. Akibatnya, ia jadi berhenti dari pekerjaannya, serta tidak mampu untuk berolahraga. Beberapa obat telah ia konsumsi, termasuk morfin dan oksikodon, tetapi keduanya bahkan tidak mampu meredakan sakitnya ini.
“Saya bukan kecanduan obat-obatan, saya hanya ingin kecanduan untuk bisa bebas dari rasa sakit,” ujar pasien Edward seperti dikutip CNN Health.
Setelah delapan tahun pencarian dan lebih dari 30 operasi, kondisinya semakin memburuk hingga ia nyaris putus asa. Namun, lewat uji coba DBS di UCSF, hidupnya kini mulai berubah. Dalam salah satu prosedur, dokter memetakan lebih dari 100 titik di otaknya. Pada hari kelima, rasa sakit yang ia derita tiba-tiba hilang.
Kini, Mowery sudah bisa beraktivitas normal, termasuk bermain gitar lagi. Ia memantau aktivitas otaknya melalui aplikasi iPad dan hanya perlu sesekali mengisi daya perangkat penyalur sinyal ke otak. Meski sesekali sakitnya masih kambuh, tetapi frekuensinya jauh berkurang.
Dirinya bahkan ikut mendampingi peneliti, Pravad Shirvalkar bersaksi di hadapan Kongres AS untuk menjelaskan dampak penelitian ini. (CNN/Z-2)