Dampak Penutupan, Satwa di Bandung Zoo Bisa Terkena Stres Psikologis

2 hours ago 3
Dampak Penutupan, Satwa di Bandung Zoo Bisa Terkena Stres Psikologis Ilustrasi(Dok Bandung Zoo)

PEMERINTAH Kota (Pemkot) Bandung harus juga memperhitungkan dampak stres psikologis terhadap ratusan satwa yang menghuni kebun binatang tersebut. Kondisi ini bisa terjadi karena belum adanya kepastian kapan Bandung Zoo bisa dibuka kembali seperti semula.

"Akibat konflik hukum dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi psikologis satwa. Karena hewan yang terbiasa berinteraksi dengan manusia berisiko mengalami kebosanan hingga stres jika penutupan berlangsung lama," ungkal Wildlife Campaigner Geopix, Annisa Rahmawati kemarin.

Menurut Annisa, ketika pengunjung tidak hadir untuk jangka waktu lama, satwa yang terbiasa dengan kehadiran manusia seperti primata. Khususnya yang berkelompok dan hewan yang rutin diberi pengayaan interaktif, bisa menghadapi dampak psikologis signifikan. Kebosanan yang mendalam, penurunan aktivitas, hingga munculnya apatis dan stereotip, yaitu perilaku berulang yang kehilangan fungsi adaptif.

"Sedangkan untuk satwa yang bersifat soliter atau tidak tergantung pada interaksi manusia, dampaknya lebih ringan bahkan bisa netral, selama kebutuhan dasar tetap terpenuhi. Yang terpenting adalah apakah pengelola mampu menjaga rutinitas pemeliharaan, pemberian pakan, perawatan kesehatan dan stimulasi mental atau fisik tanpa gangguan. Tanpa itu, stres psikologis cepat muncul,” paparnya.

Annisa menambahkan, stimulus berupa enrichment perlu diberikan untuk menghindari kebosanan dan stres. Enrichment tersebut dapat berupa makanan yang diletakkan di dalam wadah tersembunyi, tali untuk bergelantungan atau kolam untuk berkubang. Geopix juga menyoroti kehilangan “stimulus sosial” dari kehadiran manusia. Namun, Annisa menyebut faktor lain lebih dominan memengaruhi perilaku satwa, seperti desain kandang, luasan, kepadatan satwa, ruang untuk sembunyi, kualitas enrichment, kestabilan lingkungan, dan rutinitas harian.

“Kehilangan stimulus sosial saja tidak cukup membuat satwa stres parah jika semua faktor lain terjaga dengan baik,” tandasnya.

Annisa melanjutkan, perbedaan dampak juga terlihat pada jenis satwa tertentu. Primata lebih peka terhadap perubahan sosial dan stimulus visual, sementara burung, khususnya yang aktif terbang atau memiliki kebutuhan kompleks dalam mencari makan, mudah terpengaruh oleh perubahan ruang dan noise. Sedangkan Karnivora besar mungkin lebih toleran terhadap ketidakhadiran pengunjung jika kebutuhan fisik dan lingkungan mereka terpenuhi, tetapi tetap berisiko bila aktivitas rutin terganggu.

"Jika penutupan berlangsung lama, kami menilai risiko jangka panjang dapat memengaruhi pola makan, kesehatan, reproduksi, hingga keseimbangan perilaku satwa. Stres kronis bisa menurunkan libido, mengganggu siklus hormon, menurunkan angka kelahiran atau kelangsungan hidup bayi hewan,” jelasnya.

Gangguan perilaku kata Annisa berupa stereotip, agresi intra-grup, ketidakaktifan atau apatis juga bisa muncul. Dalam kondisi krisis, pengelola kebun binatang wajib memenuhi standar kesejahteraan satwa berdasarkan prinsip Five Freedoms atau Five Domains. Standar itu mencakup pemberian pakan sesuai spesies, pemeriksaan kesehatan rutin, program enrichment kognitif dan fisik, kandang yang memadai, monitoring perilaku abnormal, hingga adanya transparansi dan pengawasan independen. Terkait kelahiran satwa di masa penutupan, hal itu bukan indikator tunggal kesehatan hewan.

“Kelahiran bisa menjadi sinyal positif, tetapi tidak otomatis berarti kondisi keseluruhan baik. Jika fasilitas tidak siap, kelahiran malah bisa menambah risiko,” ucapnya.

Annisa meminta pemerintah bisa menunjuk kustodian atau lembaga konservasi lain yang memiliki kemampuan dan sumber daya, melakukan audit independen serta menyiapkan relokasi darurat bila standar pemeliharaan gagal dipenuhi. Intinya manusia yang bertikai jangan sampai satwa yang terbengkalai. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |