Cukai Rokok Jadi Sorotan, DPR dan DPD Ingatkan Ancaman PHK Massal di Industri Tembakau

2 days ago 10
Cukai Rokok Jadi Sorotan, DPR dan DPD Ingatkan Ancaman PHK Massal di Industri Tembakau Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini(Dok istimewa)

ISU pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di PT Gudang Garam Tbk (GGRM) kembali menyoroti peliknya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT). Bagi kalangan legislatif, tekanan fiskal yang berlebihan bukan hanya melemahkan kinerja korporasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan gejolak sosial-ekonomi yang luas.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menilai pemerintah bersikap kontradiktif. Di satu sisi, rokok masih menjadi tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi cukai mencapai Rp230 triliun tahun ini dan ditargetkan naik menjadi Rp241,83 triliun pada RAPBN 2026. Namun di sisi lain, kebijakan tarif, harga jual eceran (HJE), dan regulasi kesehatan yang semakin ketat justru menekan daya saing industri.

“Tiap tahun cukai makin tinggi, sementara aturan pembatasan konsumsi rokok juga semakin ketat. Ini membebani perusahaan dan berimbas pada tenaga kerja,” tegas Yahya dalam keterangannya, Jumat (12/9).

Ia mengingatkan bahwa industri rokok menyerap sekitar 2 juta pekerja, baik langsung maupun tidak langsung.

Pandangan serupa disampaikan Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama. Menurutnya, isu PHK massal di Gudang Garam bukan sekadar urusan korporasi, melainkan ancaman terhadap keberlangsungan hidup banyak pihak, mulai dari pekerja pabrik hingga petani tembakau.

“Kalau benar kabar PHK massal Gudang Garam, ini kabar yang sangat tidak sedap. Isu ini tidak hanya soal industri, tapi juga problem baru dalam penyerapan tenaga kerja,” ujar Lia.

Ia menjelaskan, industri hasil tembakau saat ini tertekan oleh dua faktor utama, yakni terbatasnya pasokan tembakau dan tingginya tarif cukai. Efek domino kebijakan ini juga berimbas pada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Lia menilai, meski alokasi DBHCHT dinaikkan dari 2% menjadi 3% dalam UU HKPD, angka tersebut masih belum cukup.

“Pemerintah perlu menaikkan hingga 5 persen untuk menjamin kesejahteraan petani, misalnya lewat program jaminan gagal panen, modernisasi alsintan, dan peningkatan kualitas produksi,” jelasnya.

Selain petani, buruh pabrik juga ikut terancam. Lia mempertanyakan apakah turunnya produksi Gudang Garam disebabkan melemahnya daya beli atau karena perusahaan kurang berinovasi mengikuti selera pasar. 

“Kalau demand masyarakat masih tinggi, mestinya industri rokok aman. Persoalannya bisa pada tren produk atau tarif cukai yang terlalu tinggi sehingga harga jual sulit dijangkau,” tambahnya.

Di sisi lain, kinerja keuangan Gudang Garam memang terus merosot. Pada 2024, laba bersih perusahaan anjlok 81,57% menjadi Rp980,8 miliar dari Rp5,32 triliun pada 2023. Hingga semester I-2025, pendapatan turun 11,30% year-on-year menjadi Rp44,36 triliun, dengan laba hanya Rp117,16 miliar.

Penurunan tajam ini memicu kekhawatiran publik atas kabar PHK massal yang beredar luas di media sosial. Jika benar terjadi, dampaknya akan merembet ke seluruh ekosistem industri tembakau, termasuk petani, buruh linting, hingga pedagang kecil.

“Pertanyaan saya, adakah perencanaan dari pemerintah untuk memulihkan industri rokok? Karena industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Jika tidak segera diantisipasi, PHK massal akan memicu masalah sosial dan ekonomi yang lebih besar,” tutup Lia. (E-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |