Cerita Jurnalis Metro TV Marializia tentang Upaya Pembebasan Sandera Abu Sayyaf

5 hours ago 1
Cerita Jurnalis Metro TV Marializia tentang Upaya Pembebasan Sandera Abu Sayyaf Kisah Maria tersebut tersaji dalam buku Untold Story: Bawa Mereka Pulang karya Fenty Effendy.(MI/Fathurrozak)

KONFLIK bersenjata di Filipina Selatan pada medio 2016 menjadi salah satu rangkaian peristiwa panjang di wilayah Mindanao yang berujung pada penyanderaan 10 warga negara Indonesia (WNI). Saat itu, para anak buah kapal (ABK) kapal Brahma 12 diculik oleh kelompok bersenjata di kawasan konflik tersebut.

Para penculik menuntut tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp15 miliar, dengan ancaman pembunuhan apabila permintaan tidak dipenuhi. Peristiwa penculikan itu terjadi pada Maret 2016 dan berakhir dua bulan kemudian, pada Mei 2016, ketika para sandera berhasil dibebaskan melalui operasi senyap kemanusiaan yang diinisiasi antara lain oleh Yayasan Sukma, pengelola Sekolah Sukma Bangsa di Aceh.

Salah satu sosok yang turut menjadi saksi dan bagian dari rangkaian upaya pembebasan sandera adalah jurnalis Metro TV, Marializia Hasni. Saat ditugaskan ke Filipina, Maria masih tergolong baru di dunia jurnalistik. Ia mengenang masa itu sebagai periode awal kariernya yang penuh semangat dan tantangan.

“Ketika itu saya masih menggebu-gebu dan idealis sebagai jurnalis, ingin kasih yang terbaik. Ketika diberikan kesempatan, harus bisa membuktikannya. Itu tugas kedua saya yang secara dadakan, sebelumnya sempat meliput juga jatuhnya Air Asia,” kenang Marializia saat diskusi buku Untold Story: Bawa Mereka Pulang di Kompas Institute, Palmerah Selatan, Jakarta Barat, Selasa (4/11).

Buku ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap misi kemanusiaan, terdapat kisah keberanian, pengorbanan, dan dedikasi yang jarang diketahui publik.

Peran Jurnalis Metro TV dalam Misi Pembebasan

Maria bercerita bahwa ketika menerima tugas itu, ia sedang dalam masa cuti menjelang pernikahan. “Saya ketika itu lagi di Surabaya, sedang menyiapkan kawinan dan lagi cuti. Tapi ditelepon dan ada tugas ini (ke Mindanao),” lanjut Maria.

Maria mengaku, misi liputannya ke Mindanao hanya satu: membuat laporan eksklusif. Namun, tantangan di lapangan membuat tugas tersebut tidak mudah.  Misi Maria berangkat ke Mindanao cuma satu: dia harus bisa membuat liputan eksklusif. "Tapi susah baget,” aku Maria.

Ia menjelaskan bahwa pergerakan di sekitar lokasi penyanderaan sangat terbatas. Di saat yang bersamaan, kantor redaksi menuntut pembaruan berita.

Dalam kondisi yang serba sulit dan terbatas, ada momen di mana Maria sempat mempertanyakan kenapa materi liputannya tak kunjung ditayangkan. Padahal, berbagai media telah meliput dan memberitakan ke khalayak ramai.

“Ada hal-hal yang bikin saya gemas. TV sebelah sudah naik. Tapi saya enggak bisa naik. Saya sudah punya gambar dan materinya. Apa masalahnya? Foto saya bahkan dipakai di institusi pemerintahan,” cerita Maria.

Tantangan di Lapangan dan Refleksi Diri

Namun, seiring berjalannya waktu, Maria menyadari makna yang lebih dalam dari pengalaman tersebut. Ia memahami bahwa menjadi jurnalis tidak hanya soal eksklusivitas berita, tetapi juga soal pengorbanan dan kemanusiaan.

“Saya belajar ikhlas, tentang pengorbanan. Dan bagi saya itu menyetir jalan (karier) saya menjadi lebih enak, menjadi lebih bijak. Ini adalah pelajaran yang tidak bisa saya lupakan. Banyak hal yang berbeda, menegangkan, yang membuat kami sama-sama belajar ikhlas menerima,” ungkap Maria.

Kisah perjalanan Marializia Hasni dan tim kemanusiaan dalam proses pembebasan sandera tersebut kini terdokumentasi dalam buku Untold Story: Bawa Mereka Pulang karya Fenty Effendy. (Jek/I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |