
BADAN Karantina Indonesia (Barantin) memusnahkan ribuan tanaman cabai dan mentimun yang terdeteksi positif mengandung Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), jenis bakteri, yaitu Pseudomonas cichorii. Tanaman tersebut berasal dari benih yang diduga dari Tiongkok, masuk secara ilegal.
Direktur Tindakan Karantina Tumbuhan Abdul Rahman menegaskan bahwa tindakan karantina merupakan bentuk ketegasan dan kehadiran negara untuk melindungi sumber daya hayati nasional. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
“Tindakan pemusnahan ini merupakan salah satu strategi untuk mencegah tersebarnya OPTK. Bila dibiarkan, organisme ini berpotensi menyerang berbagai komoditas penting dan strategis, seperti cabai, mentimun, tomat, kubis, melon, hingga tanaman hortikultura lainnya yang merupakan komoditas ekspor,” kata Rahman, di sela-sela pemusnahan di Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (23/10).
Lebih lanjut, Rahman menyampaikan bahwa kegiatan ini juga sejalan dengan Asta Cita Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Memperkuat sistem ketahanan nasional melalui pertahanan hayati atau biodefense dan mendorong swasembada pangan serta kemandirian bangsa.
“Barantin terus memperkuat sistem pengawasan pre-border, guna memastikan seluruh komoditas hewan, ikan, dan tumbuhan serta produk turunannya yang masuk ke wilayah Indonesia telah melalui prosedur karantina yang sah. Upaya ini dilakukan agar proses clearance di tempat pemasukan menjadi lebih cepat, sekaligus menekan waktu tunggu (dwelling time) dan biaya logistik menjadi lebih efisien,” tambahnya.
GANDENG BEBERAPA PIHAK
Selain itu, Barantin juga menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI dalam penyelenggaran karantina dalam pengawasan perdagangan daring (online) produk hewan, ikan, dan tumbuhan, termasuk benih yang merupakan komoditas risiko tinggi membawa OPTK.
Sinergi dengan Asperindo (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia) juga telah dibangun untuk memastikan setiap pengiriman komoditas antarwilayah terpenuhi persyaratan peraturan perkarantinaan, seperti kewajiban dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah atau negara asal.
Barantin mengapresiasi kepada perusahaan atas sikap kooperatifnya dalam pelaksanaan pemusnahan bibit tanaman cabai dan mentimun. Rahman juga memuji langkah cepat dan ketelitian Karantina DKI Jakarta yang berhasil mengidentifikasi kasus ini sebelum menyebar.
“Kami sampaikan penghargaan kepada seluruh pihak yang telah berkoordinasi dengan baik, mulai dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, Karantina DKI Jakarta, hingga Karantina Jawa Barat, dan Karantina Banten. Kolaborasi ini menunjukkan semangat Karantina Kuat, Indonesia Maju,” ujar Rahman
BERMULA DARI LAPORAN
Kepala Karantina DKI Jakarta, Amir Hasanudin, menjelaskan bermula dari laporan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta pada 8 September 2025, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Karantina DKI Jakarta bersama Karantina Banten dan Karantina Jawa Barat.
Setelah dilakukan pengambilan sampel pada 17 September 2025 dan pengujian laboratorium di Karantina DKI Jakarta serta Karantina Uji Standar pada 18 September–3 Oktober 2025, hasilnya menunjukkan positif OPTK, Pseudomonas cichorii berdasarkan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).
Sebagai tindak lanjut, Barantin menetapkan karantina wilayah dengan pemasangan segel dan quarantine line pada 26 September 2025. Kemudian langkah akhir dengan tindakan pemusnahan total pada 23 Oktober 2025 dengan membakar 4.200 batang tanaman cabai dan 2.300 batang tanaman mentimun yang terjangkit bakteri.
Berdasarkan literatur, bakteri _Pseudomonas cichorii_ dapat menginfeksi lebih dari 79 jenis tanaman, termasuk cabai, mentimun, tomat, pisang, kubis, hingga tanaman hias. Jika tidak dikendalikan, potensi kehilangan hasil dapat mencapai 100% dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi sektor pertanian nasional.
Melalui kegiatan ini, Barantin menegaskan komitmennya untuk terus menjaga negeri dari ancaman biologis yang dapat mengganggu ketahanan pangan nasional dan keamanan hayati Indonesia. (E-2)