Cedera Tak Kunjung Pulih? Sering Kali Akar Masalahnya Ada di Saraf, Bukan Otot

3 hours ago 3
Cedera Tak Kunjung Pulih? Sering Kali Akar Masalahnya Ada di Saraf, Bukan Otot Ilustrasi(Freepik)

BANYAK orang mengira nyeri otot atau cedera yang tidak kunjung sembuh disebabkan oleh lemahnya otot. Padahal, sumber masalah sering kali ada pada sistem saraf. Hal ini menjadi sorotan utama dalam acara DRI  Community Day yang digelar DRI Clinic di Bintaro, Kamis (16/10)

Acara itu menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Dokter Spesialis Neurologi sekaligus Direktur DRI Clinic dr. Irca Ahyar, Sp.N., DFIDN serta Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. Nofi Marlina Siregar, M.Pd.

Menurut Irca, banyak kasus cedera yang tidak kunjung pulih karena terapi hanya berfokus pada gejala otot tanpa menelusuri jalur saraf yang terganggu. 

"Pasien sering datang dengan keluhan yang sama, padahal sudah fisioterapi, stretching, atau bahkan istirahat cukup. Tapi nyerinya muncul lagi. Itu tandanya ada sinyal dari sistem saraf yang tidak seimbang. Ototnya tidak salah, tapi sarafnya yang belum pulih," ujarnya. 

Dari pengalamannya menangani berbagai kasus cedera, Irca menemukan sejumlah kesalahpahaman umum yang sering membuat proses pemulihan tidak optimal. 

Berikut beberapa hal penting yang perlu dipahami masyarakat agar dapat pulih dengan benar.

1. Cedera Tidak Selalu tentang Otot

Bagi Irca, memahami hubungan antara saraf dan otot adalah langkah pertama menuju pemulihan. 

"Saraf adalah kabel utama tubuh kita. Kalau kabelnya terganggu, pesan dari otak ke otot jadi tidak sampai. Akibatnya, otot bisa terasa tegang, lemah, atau nyeri, meskipun secara struktur sebenarnya baik-baik saja," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa sinyal tubuh sering kali diabaikan, padahal tubuh sebenarnya selalu memberi peringatan dini. 

"Tubuh itu pintar. Kalau ada nyeri yang muncul berulang di tempat yang sama, atau sensasi kebas yang makin sering, itu alarm dari sistem saraf. Jangan tunggu sampai cedera parah baru diperiksa," kata Irca.

2. Pemulihan Harus Dimulai dari Akar Masalah

Pendekatan neurologi menempatkan sistem saraf sebagai pusat kontrol seluruh fungsi tubuh. 

Namun, menurut Irca, sebagian besar terapi konvensional masih berfokus pada perbaikan gejala di permukaan. Kalau penanganan hanya fokus pada otot tanpa menelusuri jalur sarafnya, hasilnya seperti menambal ban tanpa mencari paku penyebabnya, alias cepat bocor lagi.

"Setiap tubuh itu unik. Karena itu, kami tidak memberikan terapi yang seragam. Kami menilai bagaimana otak, saraf, dan otot berkomunikasi. Kalau salah satu tidak seimbang, hasil pemulihan tidak akan optimal," terang Irca.

Ia juga menekankan pentingnya edukasi pasien dalam proses pemulihan. 

"Kami ingin pasien tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Kalau pasien mengerti asal nyerinya, mereka bisa lebih cepat pulih dan lebih sadar untuk mencegah cedera berulang," katanya.

3. Saraf Sehat, Pemulihan Lebih Cepat

Sistem saraf yang berfungsi optimal memungkinkan tubuh merespons gerakan dengan akurat. Menurut dr. Irca, inilah kunci pemulihan yang sering luput diperhatikan. 

"Begitu jalur saraf dibenahi, komunikasi otak dan otot jadi lebih efisien. Gerak tubuh kembali seimbang, dan proses penyembuhan berlangsung alami," jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pasien perlu memahami perbedaan antara nyeri otot dan nyeri saraf. 

"Nyeri otot biasanya terasa pegal atau tegang setelah aktivitas fisik. Tapi kalau nyerinya menusuk, menjalar, atau muncul tanpa sebab jelas, besar kemungkinan sumbernya ada di saraf," tambahnya.

4. Pencegahan Cedera Dimulai dari Pemeriksaan Saraf

Menurut Irca, cedera bukan hanya masalah atlet. Pekerja kantoran, guru, bahkan ibu rumah tangga juga bisa mengalami gangguan saraf akibat posisi tubuh yang salah atau kebiasaan berulang. 

"Duduk delapan jam di depan laptop tanpa jeda bisa memengaruhi keseimbangan postur dan membuat saraf tertekan. Lama-lama, muncul nyeri punggung, bahu, atau kesemutan di tangan," ujarnya.

Ia menganjurkan pemeriksaan saraf secara berkala, terutama bagi mereka yang aktif bergerak. 

"Pemeriksaan saraf bukan hanya untuk orang yang sakit. Ini bagian dari pencegahan. Kita bisa tahu sejak dini apakah ada ketidakseimbangan yang bisa memicu cedera," katanya.

Hasil pemeriksaan ini juga menjadi dasar untuk menentukan terapi personal. 

"Kadang pasien bilang lututnya sakit, tapi setelah kami periksa, ternyata masalahnya di saraf pinggul. Jadi sumber nyerinya bukan di tempat yang terasa sakit," tambah dr. Irca.

5. Pemulihan yang Baik Bukan Soal Cepat, Tapi Tepat

Banyak pasien ingin segera kembali beraktivitas begitu rasa sakit mereda. Namun, menurut dr. Irca, regenerasi saraf berjalan jauh lebih lambat dibandingkan otot. 

"Kalau dipaksakan terlalu cepat, cedera bisa kambuh. Pemulihan itu bukan sprint, tapi maraton. Yang penting bukan cepat sembuh, tapi pulih dengan benar," ujarnya

Pendekatan ini sejalan dengan pesan Nofi, yang menegaskan pentingnya proses latihan yang konsisten dan bertahap. 

"Kalau kita tidak melatih tubuh secara bertahap, risiko cedera meningkat. Tubuh itu seperti karet. Kalau jarang digunakan, bisa putus ketika ditarik," ujarnya. 

Menurutnya, banyak orang hanya fokus pada kekuatan fisik tanpa memerhatikan kesiapan sistem saraf. 

"Kebugaran itu bukan cuma soal otot kuat, tapi juga sinergi antara saraf dan otot. Kalau salah satunya tidak siap, cedera pasti lebih mudah terjadi," tegasnya. 

Pendekatan neurologis ini sejalan dengan prinsip kebugaran yang diajarkan di UNJ, di mana kesiapan sistem saraf menjadi bagian penting dalam mencegah cedera

6. Kenali Tubuh, Hargai Proses Pemulihan

Acara ini juga menghadirkan para praktisi di bidang olahraga. Dari sisi pelatih kebugaran, Stenly Kusnin, Strategic Advisor Anytime Fitness, menegaskan pentingnya kolaborasi antara pelatih dan tenaga medis untuk memastikan proses pemulihan berlangsung aman. 

"Di Anytime Fitness, kalau ada klien yang pernah cedera, kami akan bertanya mengenai permasalahan sebelumnya, hingga meminta surat rekomendasi dari dokter. Dengan begitu, kami bisa meminimalkan risiko cedera dan memantau progress latihannya. Kalau saat recovery setelah olahraga ada rasa sakit yang tidak hilang, kita harus curiga ada sesuatu yang salah," jelasnya dalam kesempatan yang sama. 

Sementara itu, Susilo Baskoro dari komunitas Bintaro Loop berbagi perspektif dari sisi pesepeda yang sering mengabaikan tanda-tanda kecil cedera. 

"Tanda cedera yang sering tidak kita sadari biasanya berkaitan dengan posisi saat bersepeda. Misalnya, tangan mulai sakit dan susah digerakkan, atau leher terasa kaku. Itu sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak seimbang di tubuh kita," ujarnya.

Rima Melati Adams, sport enthusiast sekaligus Founder @satutempatstudio, menekankan bahwa olahraga seharusnya menjadi perjalanan jangka panjang, bukan tujuan sesaat. 

Ia mengungkapkan, "Olahraga itu bukan untuk short time, tapi untuk long run. Kita harus pahami tujuan dan motivasi untuk olahraga, yaitu untuk sehat. Kebetulan saya sedang cedera lutut akibat tersandung saat latihan. Saya belajar mendengarkan kondisi tubuh, tapi tetap harus bangkit lagi."

Menurut Irca, pengalaman-pengalaman tersebut membuktikan bahwa pemulihan bukan sekadar proses fisik, tetapi juga kesadaran diri. 

"Tubuh selalu memberi tahu apa yang salah. Tugas kita adalah mendengarkan. Kalau kita bisa menghargai proses pemulihan, tubuh akan berterima kasih dengan performa yang lebih baik dan tanpa nyeri berkepanjangan," tutupnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |