
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai praktik impunitas di lingkungan militer masih kuat dan menjadi ancaman bagi prinsip negara hukum. Kritik ini mencuat menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang menurunkan hukuman dua eks prajurit TNI AL dalam kasus penembakan pengusaha rental mobil, dari seumur hidup menjadi 15 tahun penjara, tanpa penjelasan terbuka kepada publik.
"Putusan yang tertutup seperti ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Mahkamah Agung seharusnya menjadi benteng terakhir supremasi hukum, bukan bagian dari mekanisme impunitas," demikian pernyataan Koalisi dalam siaran persnya, hari ini.
Koalisi juga menyoroti pola serupa dalam kasus lain, termasuk vonis ringan terhadap Sertu Riza Pahlivi, anggota TNI yang menganiaya seorang pelajar SMP hingga tewas di Medan. Pengadilan Militer I-02 Medan hanya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara, yang memicu kecaman luas karena lebih ringan dibandingkan vonis untuk kasus pidana ringan seperti pencurian.
Selain itu, serangkaian putusan ringan terhadap anggota TNI juga dinilai menunjukkan stagnasi reformasi sektor keamanan setelah lebih dari dua dekade pascareformasi 1998. Hukum dianggap masih tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menyatakan, persoalan ini bukan insiden tunggal, melainkan pola sistemik yang mengakar. "Impunitas melekat dalam mekanisme peradilan militer yang belum diselaraskan dengan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia," ujarnya.
Ia menambahkan, praktik perlindungan internal di tubuh militer sering disalahartikan sebagai bentuk solidaritas korps atau esprit de corps. Padahal, hal itu justru memperlemah profesionalisme dan akuntabilitas militer di bawah kontrol sipil. "Keadilan sering dikorbankan demi citra institusi, bukan demi korban," kata Hendardi.
Koalisi mengingatkan, agenda reformasi keamanan pascareformasi 1998 sebenarnya telah menegaskan pentingnya pemisahan militer dari urusan sipil. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 65 ayat (2) bahkan menyebut bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Namun, ketentuan itu kerap diabaikan karena revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tak kunjung diselesaikan. "Kegagalan pemerintah dan DPR menuntaskan revisi itu membuat sistem peradilan militer tetap menjadi ruang tertutup yang melanggengkan ketimpangan keadilan," tutur Hendardi.
Karenanya, koalisi mendesak pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU Peradilan Militer, agar seluruh tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI diproses di peradilan umum. Selain itu, Panglima TNI juga diminta melakukan evaluasi rutin terhadap kondisi psikologis prajurit serta memperketat pengawasan terhadap penggunaan senjata api di lapangan.
Tanpa langkah konkret tersebut, siklus kekerasan dan pelanggaran hukum oleh anggota TNI dinilai akan terus berulang, dan keadilan bagi korban sipil akan tetap jauh dari jangkauan. (Mir/P-1)