BPJS Watch: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Jangan Tunggu Pertumbuhan Ekonomi

4 hours ago 1
 Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Jangan Tunggu Pertumbuhan Ekonomi Ilustrasi: petugas BPJS Kesehatan melayani warga di Kantor BPJS Kesehatan(ANTARA FOTO/Yudi Manar)

KOORDINATOR Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang baru akan dilakukan jika pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 persen adalah tidak tepat dan bertentangan dengan regulasi.

“Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN disebutkan bahwa iuran harus ditinjau secara berkala. Bahkan, dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 sampai dengan Perpres 59 Tahun 2024 disebutkan paling lama setiap dua tahun,” ujar Timboel saat dihubungi, Kamis (23/10).

Ia menilai, bila kenaikan iuran dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kebijakan tersebut berpotensi melanggar aturan. “Kalau Menteri Keuangan mengatakan iuran baru naik kalau ekonomi tumbuh 6%, ya tidak mungkin. Satu, itu melanggar regulasi. Kedua, faktanya hari ini aset bersih BPJS Kesehatan terus menurun dan ancaman defisit sudah di depan mata,” tegasnya.

Menurut Timboel, iuran BPJS Kesehatan tidak mengalami kenaikan sejak 2020 hingga 2025, yang berarti sudah lima tahun melampaui ketentuan peninjauan berkala. Ia memproyeksikan, jika iuran tidak segera disesuaikan, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit pada 2026, yang berujung pada terganggunya arus kas rumah sakit dan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

“Cash flow rumah sakit dan FKTP akan terganggu, mereka tidak bisa beli obat, alat kesehatan, atau bayar dokter dan perawat. Akhirnya pasien yang jadi korban,” ujar dia.

Timboel mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan seperti pada 2014–2019 ketika defisit besar menekan layanan kesehatan. Ia menilai, kenaikan iuran tetap perlu dilakukan, namun dengan cara yang bijak dan bertahap, terutama dimulai dari segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang pembiayaannya ditanggung pemerintah.

“Saya harap pemerintah menaikkan iuran PBI mulai 1 Januari 2026. Dari Rp42 ribu menjadi sekitar Rp70 ribu, seluruhnya dibayar pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat miskin dan tidak mampu,” kata Timboel.

Sementara untuk peserta mandiri, ia menilai kenaikan iuran belum perlu dilakukan sebelum pemerintah menyelesaikan rencana penghapusan tunggakan (pemutihan).

“Tunggakan iuran harus segera diputihkan supaya masyarakat tidak tersandera. Banyak tunggakan muncul sejak pandemi COVID-19, ketika masyarakat kehilangan pekerjaan tapi iuran justru naik tinggi,” jelasnya.

Ia menilai, penghapusan tunggakan akan mendorong masyarakat kembali aktif membayar iuran, sehingga pendapatan riil BPJS Kesehatan meningkat. 

“Kalau iuran masuk kembali sebagai pendapatan riil, maka cash flow BPJS akan membaik. Itu akan membantu pembayaran kapitasi ke FKTP dan klaim rumah sakit,” ujarnya.

Lebih lanjut, Timboel juga mengusulkan agar peserta menengah ke atas yang menunggak diberi sanksi administratif sesuai PP Nomor 86 Tahun 2013, misalnya pembatasan layanan publik seperti pengurusan paspor, visa, IMB, atau perizinan lain.

“Masa mau ke luar negeri buat paspor dan visa saja bisa, tapi bayar iuran gotong royong Rp35 ribu enggak mau. Ini soal kesadaran bergotong royong,” pungkas dia. (Ata/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |