
DUNIA hari ini menyaksikan tragedi tidak terbantahkan: penderitaan rakyat Palestina. Apa yang dikatakan aktor Javier Bardem “genosida dalam 4K, setiap hari” bukanlah hiperbola, melainkan realitas yang terpapar jelas di layar gawai kita. Tidak ada lagi ruang bagi keraguan sebab semua gambar yang kita lihat bukan sekadar narasi melainkan bukti hidup. Anak-anak menangis di reruntuhan, keluarga yang hancur dalam sekejap, dan kota yang luluh lantak. Semua menjadi potret sejarah kelam abad ini.
Namun, di balik tragedi itu, ada pertanyaan jauh lebih besar: apa yang sedang diuji pada umat manusia? Apakah kita masih memiliki hati nurani yang hidup? Atau justru kita telah menjadi penonton pasif yang membiarkan kejahatan berlangsung atas nama kepentingan, ideologi, atau kenyamanan?
Genosida ialah kejahatan hukum internasional berupa setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. Definisi ini berasal dari Konvensi Genosida 1948 yang mencakup lima jenis tindakan, yaitu pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan cedera fisik atau mental serius, memaksakan kondisi kehidupan yang akan menyebabkan kehancuran fisik, tindakan mencegah kelahiran, dan pemindahan paksa anak-anak kelompok tersebut.
Istilah genosida diciptakan oleh ahli hukum Polandia Raphael Lemkin pada 1944, menggabungkan kata Yunani genos (ras, bangsa) dan kata Latin caedere (membunuh). Genosida salah satu kejahatan internasional paling serius dan menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Hukum Internasional. Pengertian genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut.
Kemanusiaan yang Menjadi Garis Batas
Jeveir Bardem menegaskan dengan lugas: “Saya tidak bisa bekerja dengan seseorang yang mendukung atau membenarkan genosida. Sesederhana itu.” Pernyataan ini mengguncang bukan hanya karena keras tetapi karena ia menyingkap sebuah kebenaran mendasar: di hadapan genosida, tidak ada ruang netralitas.
Kemanusiaan menjadi garis batas tegas. Mendukung atau membenarkan pembantaian rakyat sipil siapapun mereka berarti menanggalkan identitas kita sebagai manusia. Genosida bukan sekadar isu politik atau agama. Ia adalah pengingkaran total atas martabat manusia. Karena itu, perdebatan tentang siapa benar atau salah menjadi kabur di hadapan fakta sederhana: ribuan orang sipil, mayoritas anak-anak dan perempuan, menjadi korban.
Keadilan yang Kerap Jadi Retorika
Isu Palestina sudah puluhan tahun menjadi panggung politik dunia. Resolusi demi resolusi lahir, konferensi digelar, dan deklarasi dibacakan. Namun, apa yang berubah? Sangat sedikit. Dunia sering berbicara tentang HAM dan keadilan universal tapi ketika genosida terjadi terang-benderang, banyak negara terjebak dalam standar ganda.
Di sinilah suara para artis seperti Olivia Colman, Mark Ruffalo, Tilda Swinton, Riz Ahmed, hingga Ava DuVernay menjadi penting. Mereka mengingatkan dunia bahwa keadilan bukan slogan tetapi prinsip. Keadilan sejati tidak mengenal ras, agama, atau ideologi. Ia berpihak pada manusia. Jika dunia membiarkan pembantaian terus berlangsung dengan alasan “kepentingan politik” atau “stabilitas regional,” kata keadilan hanya tinggal retorika kosong.
Untuk Mereka yang Mendukung
Ada sebagian pihak percaya bahwa tindakan militer Israel adalah bentuk pembelaan diri, upaya melindungi keamanan rakyatnya. Tetapi pertanyaan sederhana harus diajukan: sampai di mana batas keamanan itu dapat membenarkan pembantaian anak-anak dan rakyat sipil tidak bersalah?
Sejarah penuh dengan contoh di mana keamanan menjadi dalih untuk melakukan penindasan. Namun, keamanan yang ditegakkan dengan mengorbankan kemanusiaan justru melahirkan lingkaran dendam dan kekerasan baru. Apa artinya keamanan bila diperoleh dengan merampas nyawa mereka yang tidak bersalah? Bukankah itu justru memperluas jurang permusuhan dan menyiapkan bibit konflik yang lebih panjang?
Untuk Mereka yang Membela Palestina
Bagi yang membela Palestina, suara dan kemarahan Anda sah. Namun, pembelaan sejati bukan hanya teriakan di jalanan atau unggahan di media sosial. Solidaritas tulus berarti konsistensi: mendesak gencatan senjata, menyalurkan bantuan kemanusiaan, mendukung diplomasi, dan menolak kekerasan yang menambah korban jiwa.
Palestina tidak hanya butuh dukungan emosional tetapi juga langkah nyata yang mengedepankan jalan kemanusiaan. Membela Palestina berarti membela hak mereka untuk hidup dengan martabat, bukan sekadar menambah retorika di tengah penderitaan mereka.
Dunia yang Masih Diam
Diam adalah bentuk keterlibatan paling sunyi tetapi paling mematikan. Netralitas di tengah genosida bukanlah kebajikan melainkan keberpihakan terselubung pada penindas. Dunia seakan lupa bahwa ketidakpedulian adalah pupuk bagi kejahatan.
Sejarah pernah mencatat bagaimana diamnya masyarakat internasional atas tragedi Bosnia, Rwanda, atau holocaust membuat luka kemanusiaan itu semakin dalam. Kini, dengan teknologi yang menyiarkan segalanya secara real time, tidak ada alasan bagi dunia untuk berkata, “kami tidak tahu.” Justru sebaliknya: dunia tahu, dunia melihat, tetapi dunia memilih untuk bungkam.
Suara Moral Global
Yang membuat situasi ini semakin menyentuh adalah kenyataan bahwa banyak tokoh bersuara lantang bukanlah orang Palestina, bukan Arab, dan bukan Muslim. Mereka tidak punya kepentingan langsung dengan tanah Palestina. Mereka hanya digerakkan oleh nurani.
Inilah teguran paling keras bagi para elite politik termasuk sebagian pemimpin dunia Muslim yang sering kali bungkam karena terikat kepentingan ekonomi dan geopolitik. Pesan dari para seniman itu jelas: jika kami, yang tidak punya kepentingan langsung, bisa bersuara lantang, mengapa kalian yang memiliki kuasa memilih diam?
Keadilan Tidak Boleh Ditunda
Keadilan yang ditunda adalah kezaliman yang diperpanjang. Tragedi Palestina sudah berlangsung lebih dari tujuh dekade, namun solusi konkret tidak kunjung hadir. Dunia menonton, generasi berganti, dan luka semakin menganga. Jika hari ini dunia masih memilih untuk membiarkan, sejarah akan mencatat bahwa genosida ini terjadi bukan hanya karena pelaku tetapi juga karena diamnya saksi-saksi dunia.
Renungan: Cermin Bagi Umat Manusia
Tragedi Palestina adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya:
Apakah kita manusia yang menolak melihat sesama dilenyapkan?
Ataukah kita sekadar penonton yang menormalisasi kekejaman?
Untuk yang pro, renungkan: adakah alasan keamanan yang cukup untuk membenarkan hilangnya nyawa anak-anak? Untuk yang kontra, tanyakan: adakah solidaritas kita sudah benar-benar diwujudkan dalam langkah nyata, bukan sekadar retorika? Dan untuk dunia yang masih diam: sampai kapan kita rela menjadi saksi bisu atas genosida?
Sejarah tidak hanya mencatat apa yang dilakukan para pelaku, tetapi juga apa yang dipilih saksi-saksinya. Akhirnya, pertanyaan paling sederhana namun paling dalam adalah: apakah kita masih memiliki keberanian untuk membela kemanusiaan? (H-4)