
Alarm dini kanker payudara tak boleh hanya bergantung pada Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Dokter bedah onkologi lulusan Universitas Indonesia, Maelissa Pramaningasin, menegaskan SADARI harus dipasangkan dengan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) agar kasus tidak terus terdeteksi pada stadium lanjut.
Dikutip dari Antara, Maelissa mengatakan, banyak tumor dan kanker payudara berkembang tanpa rasa nyeri atau keluhan khas. “Karena itu, SADARI tetap perlu, tetapi tidak memadai bila berdiri sendiri. Wajib dilanjutkan dengan SADANIS,” ujarnya.
Kenapa kombinasi penting?
Data Globocan 2020 menempatkan kanker payudara sebagai kanker dengan kasus terbanyak di dunia, termasuk Indonesia, dengan lebih dari 68.858 kasus baru dan 22.430 kematian dalam setahun. Di tahun yang sama, sekitar 68%-73% pasien di Indonesia datang ke rumah sakit pada stadium lanjut. Angka ini menggambarkan celah deteksi dini yang besar dan urgensi skrining ganda.
Cara melakukan SADARI
- Buka pakaian dari pinggang ke atas dan berdiri di depan cermin.
- Amati perubahan bentuk/ukuran dan kulit saat tangan di sisi tubuh, diangkat ke atas, lalu bertolak pinggang.
- Raba payudara: tangan kiri untuk payudara kanan, dan sebaliknya, sertakan area ketiak dan sekitar tulang leher.
- Tekan areola/sekitar puting untuk melihat apakah ada cairan yang keluar.
Tanda bahaya yang perlu dicermati
- Benjolan yang sering kali tidak nyeri.
- Perubahan tekstur kulit seperti mengeras atau tampak “kulit jeruk”.
- Luka yang tak kunjung sembuh pada payudara.
- Keluarnya cairan dari puting tanpa sebab jelas.
Maelissa mengingatkan, kebiasaan SADARI bulanan harus dibarengi pemeriksaan klinis berkala oleh tenaga kesehatan. Dengan kombinasi ini, peluang menemukan kelainan pada tahap awal meningkat, sehingga terapi bisa lebih efektif dan peluang hidup lebih baik.
Intinya sederhana: rasakan, lihat, periksa, lalu pastikan dengan dokter. Deteksi dini bukan pilihan tambahan; itu fondasi utama melawan kanker payudara. (Ant/Z-10)