
TANGGAL 21 September diperingati sebagai Hari Perdamaian Internasional, sebuah momentum yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memperkuat cita-cita kemaslahatan dunia. Perdamaian tidak hanya berarti absennya konflik, tetapi juga hadirnya keadilan, kesejahteraan, dan keterlibatan semua pihak dalam membangun tatanan dunia yang lebih baik. Dalam konteks ini, masjid sebagai pusat peradaban Islam memiliki peran strategis—bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai episentrum perdamaian, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun, potensi besar ini sering terkendala oleh masalah klasik: tata kelola administrasi yang manual, rendahnya transparansi keuangan, serta lambatnya diseminasi informasi. Di sinilah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) hadir dengan sebuah terobosan visioner: Aplikasi Menara Masjid. Lebih dari sekadar alat digital, aplikasi ini adalah bagian dari gerakan transformasi dakwah modern yang mengedepankan nilai-nilai transparansi, partisipasi, dan perdamaian.
Masjid bukan hanya sekadar bangunan tempat ibadah. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, masjid telah memainkan peran multidimensional yang mencakup aspek spiritual, sosial, strategis, dan kebudayaan. Di tengah tantangan global dan dinamika masyarakat modern, revitalisasi peran masjid menjadi sebuah keharusan—bukan hanya sebagai simbol religiusitas, tetapi sebagai epicentrum peradaban yang inklusif, progresif, dan solutif.
Pertama, masjid berperan sebagai pusat pembinaan karakter dan mental unggul. Nabi Muhammad SAW tidak hanya membangun Masjid Nabawi sebagai tempat shalat, tetapi juga sebagai tempat pembinaan ukhuwah Islamiyah—menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar dalam ikatan akidah yang kuat. Kini, masjid harus mampu menjadi character building center yang melatih mental generasi muda melalui program-program kepemimpinan, pelatihan soft skill, dan pendalaman nilai-nilai etika universal. Dengan pendekatan yang adaptif terhadap psikologi modern dan metode pendidikan partisipatif, masjid dapat mencetak individu yang tidak hanya religius, tetapi juga berintegritas dan siap menghadapi kompleksitas zaman.
Kedua, masjid berfungsi sebagai nerve center strategi kebijakan dan sosial. Sejarah mencatat, masjid berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pengambilan keputusan strategis—mulai dari perencanaan kebijakan publik hingga koordinasi ketahanan masyarakat. Piagam Madinah, yang dirumuskan Rasulullah SAW, adalah contoh nyata bagaimana masjid menjadi tempat perumusan kontrak sosial yang inklusif dan berkeadilan.
Dalam konteks kekinian, masjid harus kembali mengambil peran sebagai public policy hub: tempat diskusi terbuka, perencanaan komunitas, advokasi isu sosial, bahkan mitigasi konflik. Dengan memanfaatkan teknologi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, masjid dapat menjadi simpul governance yang transparan dan partisipatif.
Ketiga, masjid merupakan episentrum dakwah modern yang memberdayakan. Dakwah tidak lagi cukup disampaikan melalui ceramah satu arah. Masjid harus bertransformasi menjadi pusat syiar Islam yang dinamis, relevan, dan solutif—sesuai dengan semangat rahmatan li al-‘alamin. Melalui platform digital, program pemberdayaan ekonomi, layanan kesehatan, hingga edukasi literasi media, masjid dapat menjawab tantangan riil masyarakat. Dakwah kontemporer harus bersifat dialogis, inklusif, dan berbasis bukti—bukan sekadar retorika. Dengan demikian, masjid tidak hanya berbicara tentang akhirat, tetapi juga hadir sebagai solusi bagi problematika duniawi.
Agar masjid tidak terjebak dalam nostalgia masa lalu, diperlukan langkah-langkah terobosan seperti peningkatan kapasitas pengurus melalui pelatihan manajemen modern dan literasi digital, kolaborasi dengan akademisi, praktisi, dan komunitas untuk merancang program yang relevan dan terukur, integrasi teknologi dalam sistem komunikasi, pengelolaan keuangan, dan penyebaran konten dakwah, serta pembukaan ruang dialog antaragama dan antarbudaya untuk memperkuat peran masjid sebagai agen perdamaian.
Dengan memaksimalkan ketiga peran utamanya—sebagai pusat pembinaan karakter, nerve center strategis, dan episentrum dakwah modern—masjid tidak hanya akan tetap relevan, tetapi juga menjadi lokomotif peradaban yang unggul dan manusiawi di abad ke-21.
Transformasi Digital Masjid
Masjid juga menjadi pusat pemikiran ekonomi dan kegiatan yang bertujuan untuk kemaslahatan umat seperti yang dilakukan beberapa masjid dan lembaga seperti Jogokariyan, BAZNAS Microfinance, perpustakaan masjid, pusat pelatihan wirausaha dan pusat pendampingan ekonomi duafa dan usaha mikro dan ultra mikro
Sebagai lembaga filantropi Islam nasional, BAZNAS tidak hanya bertugas mengelola zakat, infak, dan sedekah (ZIS), tetapi juga aktif berinovasi untuk kemaslahatan umat. Aplikasi Menara Masjid—yang kini digunakan oleh lebih dari 11.000 masjid dan mushala di Indonesia—adalah bukti nyata komitmen tersebut. Aplikasi ini memudahkan pengurus masjid dan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mengelola keuangan ZIS, menginventarisasi aset, mempublikasikan kegiatan, hingga membangun website masjid yang terintegrasi dengan mesin pencari.
Tidak berhenti di situ, fitur-fitur yang tersedia juga memberdayakan marbot dan jamaah dengan akses informasi yang real-time dan transparan. Hal ini sejalan dengan prinsip "Aman Syari, Aman Regulasi, Aman NKRI" yang diusung BAZNAS. Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga contoh tata kelola yang akuntabel dan partisipatif.
Transformasi digital yang diusung BAZNAS melalui Aplikasi Menara Masjid juga merupakan bentuk dakwah kontemporer. Dakwah tidak lagi hanya disampaikan melalui ceramah, tetapi juga melalui tindakan nyata yang memudahkan, memberdayakan, dan membangun kepercayaan. Dalam perspektif yang lebih luas, langkah ini berkontribusi pada perdamaian dunia—karena transparansi dan keadilan ekonomi adalah pondasi dari masyarakat yang damai.
Indonesia dengan lebih dari 800 ribu masjid dan mushala memiliki peluang besar untuk menjadi contoh global dalam pemanfaatan teknologi untuk perdamaian. Jika setiap masjid dapat dikelola secara digital, transparan, dan inklusif, maka masjid akan menjadi agen perubahan yang tidak hanya membawa kesejahteraan bagi umat Islam, tetapi juga menjadi inspirasi bagi dunia internasional.
BAZNAS telah memulai langkah nyata dengan mengintegrasikan Aplikasi Menara Masjid ke dalam sistem digital nasional melalui Sistem Informasi Manajemen BAZNAS (SIMBA). Bahkan, ke depan, teknologi kecerdasan buatan (AI) akan dikembangkan untuk semakin memudahkan pengelolaan zakat dan perluasan dampak sosial.
Berdasarkan data perangkat yang digunakan untuk mengakses, mayoritas “tayangan” berasal dari perangkat mobile dengan total 63,68 juta traffic dari sekitar 1,89 juta klik. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna lebih dominan mengakses melalui ponsel dibandingkan perangkat lainnya.
Hasil survei nasional BAZNAS 2024-2025 menunjukkan 87% pengurus masjid merasa puas dengan aplikasi ini. Fitur yang paling banyak digunakan adalah pencatatan kas penerimaan dan pengeluaran, serta publikasi kegiatan masjid. Meski begitu, kendala teknis seperti keterbatasan akses internet masih menjadi pekerjaan rumah dalam memperluas jangkauan layanan.
Pada akhirnya, Aplikasi Menara Masjid bukan hanya tentang digitalisasi administrasi. Ia adalah representasi dari semangat baru dakwah Islam: inklusif, transformatif, dan berorientasi pada perdamaian. Melalui inovasi seperti ini, BAZNAS tidak hanya menguatkan peran zakat dalam negeri, tetapi juga menawarkan model pengelolaan masjid yang dapat diadopsi secara global—menjadikan Indonesia rujukan dunia dalam dakwah digital untuk perdamaian.
Di Hari Perdamaian Internasional ini, mari bersama-sama mewujudkan perdamaian melalui tindakan nyata: memanfaatkan teknologi untuk kebaikan bersama, memberdayakan komunitas, dan membangun tata kelola yang transparan. Karena perdamaian sejati dimulai dari keadilan dan kepercayaan.