
KETIKA Arif Budi Santoso membelah sebutir alpukat, ia tak hanya melihat buah berwarna hijau dengan daging lembut berwarna kuning di hadapannya, melainkan peluang baru yang mengubah jalan hidupnya. Ide sederhana itulah yang kemudian tumbuh menjadi Avocadoid, merek buah bergaransi yang kini dikenal luas dan terlindungi secara hukum berkat kesadaran akan pentingnya mendaftarkan kekayaan intelektual (KI).
Didirikan sejak 2018, Avocadoid lahir dari pengalaman pribadi Arif yang sering kecewa membeli alpukat berkualitas buruk. Ketika itu, istrinya yang tengah hamil gemar mengonsumsi buah tersebut, tetapi banyak alpukat di pasaran dipetik terlalu muda dan gagal matang. Dari kegagalan usaha sebelumnya pula, Arif justru menemukan peluang baru: menghadirkan alpukat berkualitas yang benar-benar matang sempurna dan dapat dipercaya konsumen.
“Dari situ saya sadar, masih banyak peluang di balik masalah ini. Saya ingin menjual alpukat yang benar-benar matang sempurna atau jika belum matang saya pastikan alpukat tersebut berkualitas sangat baik,” ujar Arif, mengenang langkah awalnya pada sesi wawancara 19 Oktober 2025.
Dari sekadar ide di dapur rumah, Arif mulai membina petani lokal agar memahami standar panen dan pascapanen yang tepat. Upaya pembinaan ini mencakup pelatihan pemetikan, penanganan pasca panen, dan praktik sortir yang ketat agar buah yang sampai ke konsumen memenuhi standar kematangan dan kualitas Avocadoid.
Keunikan Avocadoid juga terletak pada garansi kualitas: sebelum dikirim, setiap buah menjalani proses penyortiran yang ketat dan hanya buah yang memenuhi standar yang dikirim. Jika suatu pembelian menghasilkan alpukat yang gagal matang, pelanggan dapat menukarnya pada pembelian berikutnya, aturan yang menegaskan komitmen perusahaan pada kepuasan pelanggan.
“Kepercayaan pelanggan adalah pondasi bisnis. Produk sebagus apa pun tidak akan bertahan tanpa kepercayaan. Reputasi ini pula yang membuat Avocadoid cepat dikenal lewat rekomendasi dan konten media sosial yang mendapat respons positif,” tutur Arif.
Seiring peningkatan popularitas dan penjualan, muncul pula kekhawatiran tentang potensi peniruan merek di platform e-commerce. Dari kekhawatiran itulah kesadaran akan perlunya pelindungan merek muncul: Arif kemudian mendaftarkan merek Avocadoid di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada kelas 31 untuk komoditas buah segar. Ia juga merencanakan pendaftaran tambahan untuk produk olahan seperti jus dan smoothie sebagai bagian dari strategi hilirisasi usaha.
Bagi Arif, pelindungan merek bukan sekadar formalitas administrasi—melainkan strategi keberlanjutan. Merek yang terdaftar tidak hanya memperkuat posisi hukum saat terjadi peniruan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan konsumen dan memberi nilai tambah ketika menjajaki kerjasama atau pembiayaan. Baginya, merek adalah aset penting, apalagi bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Arif berharap agar DJKI terus menghadirkan dan memperkuat perannya dalam mengedukasi, serta menghadirkan kemudahan layanan bagi pelaku usaha di daerah. Ia juga ingin proses pendaftaran dipercepat dan kemudahan akses serta sosialisasi diperluas sehingga semakin banyak UMKM menyadari pentingnya perlindungan KI.
Dalam berbagai kesempatan, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Razilu mengingatkan pada para pelaku usaha untuk melakukan pendaftaran merek sebagai langkah awal sejak ide bisnis muncul. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan nilai tambah bagi produk mereka serta sebagai pencegahan terhadap pemalsuan produknya.
“Banyak pelaku usaha baru mendaftarkan mereknya setelah usahanya dikenal. Padahal itu rentan menimbulkan penyesalan di kemudian hari,” tegas Razilu, meneguhkan pentingnya kewaspadaan dan tindakan awal dalam pelindungan KI.
Kisah Avocadoid menunjukkan bahwa dari hal sederhana seperti sepotong alpukat dapat menumbuhkan kesadaran strategis yang melindungi masa depan usaha. Di tengah persaingan pasar yang kian terbuka, pelindungan KI menjadi salah satu pilar penting bagi UMKM untuk tumbuh dan berdaya saing. (RO/Z-2)