Kapolri Listyo Sigit.(Antara Foto)
ATURAN mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh DPR RI diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2025 itu, pemohon mempersoalkan terkait kewenangan presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri dengan persetujuan DPR.
“Frasa ‘persetujuan DPR’ dalam norma ini tidak memberikan batasan yang jelas apakah persetujuan tersebut bersifat administratif, ataukah bersifat politis yang justru bisa menghambat hak prerogatif Presiden dalam mengangkat Kapolri,” kuasa hukum Pemohon Ardin Firanata di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK, Kamis (25/9).
Pasal 11 ayat (1) UU Polri mengatur bahwa “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Pemohon menganggap pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Menurut Pemohon, ketidakjelasan norma ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik ketatanegaraan, terutama terkait dengan proses pengangkatan Kapolri.
Selain itu, ketentuan tersebut dianggap menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon karena tidak adanya alasan hukum yang jelas terkait dasar persetujuan atau penolakan DPR terhadap pengangkatan Kapolri.
“Ketiadaan dasar hukum mengenai alasan persetujuan atau penolakan DPR menyebabkan kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri menjadi sepenuhnya bergantung pada persetujuan DPR, tanpa ada kepastian hukum mengenai parameter atau alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyetujui atau menolak calon Kapolri,” ujar Ardin.
Pemohon mengusulkan agar MK mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa frasa “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri tetap konstitusional sepanjang dimaknai dengan ketentuan yang jelas, seperti calon Kapolri yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:
1. Calon Kapolri adalah Warga Negara Indonesia dan perwira tinggi aktif dengan jenjang kepangkatan sesuai Pasal 11 ayat (6) UU Polri;
2. Calon Kapolri bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia pada Pancasila dan UUD 1945;
3. Calon Kapolri sehat jasmani dan rohani; dan
4. Calon Kapolri memiliki integritas yang baik dan tidak pernah dihukum atas pelanggaran etik Polri maupun pidana.
Hakim Konstitusi Daniel mengatakan bahwa kerugian konstitusional yang diajukan Pemohon belum tampak dengan jelas.
“Jika hanya sebagai advokat, ada hal-hal terkait langsung dengan Kapolri atau aparat kepolisian, maka ini harus dielaborasi agar dapat terlihat hubungan sebab akibat antara norma yang diujikan ini dan kedudukan hukum Pemohon,” ujar Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan catatan terkait ketidakpastian hukum dalam permohonan. Menurutnya, jika frasa tersebut tetap dianggap konstitusional, maka tidak ada kerugian bagi Pemohon.
“Jika dikatakan tetap konstitusional, berarti tidak ada kerugian. Ini sebenarnya permintaan fatwa, dan ini lebih merupakan soal kriteria yang harus ditentukan oleh DPR, bukan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MK, Suhartoyo juga memberikan nasihat kepada Pemohon mengenai hak konstitusional yang riil dan tidak dalam konteks umum, sehingga kerugian yang dihadapi Pemohon dapat lebih dijelaskan secara jelas.
“Jelaskan kerugian konstitusional yang lebih riil, yang terkait langsung dengan keberadaan Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya,” tukasnya. (H-4)


















































