Donald Trump dan Benjamin Netanyahu.(Al Jazeera)
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump dijadwalkan menjamu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada hari ini WIB. Pertemuan ini digambarkan sebagai momen penting yang bertujuan mendorong terealisasinya rencana perdamaian Jalur Gaza, Palestina, yang selama ini sulit dicapai.
Trump sebelumnya menyatakan bahwa kesepakatan mengakhiri perang hampir dua tahun di Gaza secara efektif tercapai setelah melakukan perundingan dengan para pemimpin Arab dan Muslim pekan lalu. Dia bahkan mengisyaratkan adanya kemajuan signifikan lewat unggahan di platform Truth Social.
"Semua bersiap untuk sesuatu istimewa, untuk pertama kali. Kami akan menyelesaikannya," tulisnya.
Namun, dua sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada ABC News bahwa setidaknya masih ada tiga perselisihan antara pihak Israel dan AS mengenai rencana gencatan senjata Gaza yang diusulkan Trump.
Sikap Netanyahu dalam beberapa hari terakhir pun belum menunjukkan optimisme serupa. Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB pada Jumat (26/9), Netanyahu kembali menegaskan niatnya menyelesaikan tugas melawan Hamas dan menolak pembentukan negara Palestina, meski gagasan tersebut belakangan mendapat pengakuan dari sejumlah negara Barat. Dia juga enggan menghentikan operasi militer di Kota Gaza yang memaksa ratusan ribu warga mengungsi dalam beberapa pekan terakhir.
Keluarga sandera
Kunjungan itu merupakan yang keempat bagi Netanyahu sejak Trump kembali menjabat pada Januari. Ini dilakukan saat Washington mendorong penyelesaian konflik yang menurut Trump bisa diselesaikan dalam hitungan hari.
Meski dikenal sebagai sekutu dekat Netanyahu, Trump mulai menunjukkan tanda-tanda frustrasi. Pekan lalu, ia memperingatkan Netanyahu agar tidak mencaplok wilayah Tepi Barat serta mengecam serangan terhadap anggota Hamas di Qatar, sekutu penting AS.
Forum Keluarga Sandera dan Hilang mendesak juga Trump bersikap tegas dalam memaksakan kesepakatan gencatan senjata Gaza.
"Kami dengan hormat meminta Anda untuk bersikap tegas terhadap segala upaya sabotase kesepakatan yang Anda ajukan," tulis mereka dalam surat terbuka.
"Taruhannya terlalu tinggi. Keluarga kami menunggu terlalu lama untuk campur tangan apa pun yang dapat menggagalkan kemajuan ini," tambahnya
Perlu tekanan
Menurut Natan Sachs dari Middle East Institute, hasil pertemuan akan bergantung pada kemauan Trump untuk menekan Netanyahu agar menerima kesepakatan yang hingga kini belum disepakati, baik oleh Israel maupun Hamas. "Netanyahu memiliki preferensi yang jelas untuk melanjutkan perang dan mengalahkan Hamas, tetapi saya rasa bukan tidak mungkin bagi Trump untuk meyakinkannya sebaliknya," kata Sachs kepada AFP.
"Perlu banyak tekanan dari Trump dan strategi yang sangat jelas dan berkelanjutan," ujarnya.
Laporan sejumlah media menyebut kesepakatan 21 poin tengah disusun dalam beberapa hari terakhir. Proposal AS tersebut mencakup pelucutan senjata Hamas, pembebasan sandera, dan gencatan senjata.
Nama mantan PM Inggris Tony Blair turut disebut sebagai calon pemimpin Otoritas Transisi Internasional Gaza yang akan bekerja di bawah dukungan PBB dan negara-negara Teluk sebelum kelak diserahkan kepada Otoritas Palestina (PA) yang direformasi.
Namun, Netanyahu dalam pidatonya di PBB menolak keras PA kembali memerintah Gaza. Ia kembali menegaskan keraguannya saat diwawancarai Fox News.
Warga Gaza menyatakan berbagai reaksi menjelang pertemuan tersebut. "Saya tidak mengharapkan apa pun dari Trump, karena Trump mendukung Netanyahu dalam menghancurkan Jalur Gaza dan menggusur penduduk untuk melaksanakan proyek Riviera," ujar Mohammed Abu Rabee, 34.
Namun, sebagian masih menyimpan harapan. "Kami berharap rencana Trump berhasil. Kami ingin perang dan pembunuhan dihentikan. Tentara telah menghancurkan segalanya di Gaza. Gaza tidak layak huni," kata Hossam Abd Rab, 55.
Menteri ekstrem
Menteri Keuangan Israel dari kubu sayap kanan ekstrem, Bezalel Smotrich, kemarin, menegaskan bahwa militer Israel harus tetap memiliki kebebasan operasional penuh di Jalur Gaza. Dalam unggahan panjang di platform X, Smotrich merinci sejumlah garis merah yang tak boleh dinegosiasikan dalam pembahasan masa depan Gaza.
"Keamanan Israel bergantung pada tindakan dan cengkeraman kami atas tanah tersebut serta penegakan hukum tanpa kompromi yang sepenuhnya bergantung pada (militer Israel) dan lembaga pertahanan kami," ujarnya. Ia menegaskan militer harus tetap berada di perimeter secara permanen, termasuk Koridor Philadelphia, dan akan mempertahankan kebebasan operasional penuh di seluruh Jalur Gaza.
Koridor Philadelphia dipandang strategis oleh Israel untuk mencegah penyelundupan senjata. Namun, menurut sumber diplomatik, rencana Trump mencakup penarikan pasukan Israel dari wilayah tersebut.
Smotrich juga menentang keras keterlibatan PA dalam pengelolaan Gaza pascaperang. PA pernah memerintah wilayah itu hingga digulingkan oleh Hamas pada 2007.
Bahkan, Smotrich turut mendukung serangan ke Qatar, negara yang selama ini menjadi mediator utama dalam upaya gencatan senjata di Gaza dan sekutu penting AS. "Waktunya telah tiba untuk mengakhiri kemunafikan dan kepalsuan Qatar yang mendorong dan mendanai terorisme," tulisnya. Trump sebelumnya menentang langkah Israel yang menargetkan Qatar dalam operasi militernya.
Smotrich menegaskan bahwa dalam rencana apa pun, tidak disebutkan tentang negara Palestina yang akan membahayakan keberadaan Israel, sejalan dengan pernyataan Netanyahu yang selama ini menolak pembentukan negara Palestina. Ia juga menyatakan harapannya untuk memanfaatkan kesempatan bersejarah pemerintahan Trump untuk secara politis dan praktis menetapkan fakta bahwa Yudea dan Samaria merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Israel yang berdaulat.
Dua nama itu merujuk pada Tepi Barat yang diduduki Israel sejak 1967. Pekan lalu, Trump memperingatkan Netanyahu agar tidak melanjutkan rencana pencaplokan Tepi Barat.
Mengebom gereja
Di sisi lain, Komite Presiden Tinggi untuk Urusan Gereja di Palestina menentang pidato Netanyahu di PBB yang mengeklaim Israel satu-satunya negara di Timur Tengah yang melindungi umat Kristen. "Di aula Majelis Umum PBB yang hampir kosong, penjahat perang dan buronan ICC Benjamin Netanyahu sekali lagi menyebarkan kebohongan tentang umat Kristen Palestina," kata komite tersebut dalam pernyataan, Minggu (28/9), yang diunggah di Facebook disertai foto tank Israel di luar Gereja Kelahiran Yesus selama penyerbuan Tepi Barat pada 2002.
Israel menghancurkan keberadaan umat Kristen di Palestina dan terus mengebom gereja-gereja dan lembaga-lembaganya di tengah perang di Gaza. "Kebenarannya jelas. Kebijakan kolonial Israel berupa pembersihan etnis, apartheid, dan genosida telah menghancurkan keberadaan umat Kristen di Palestina," katanya.
Komite tersebut menyatakan bahwa umat Kristen Palestina merupakan 12,5% dari populasi Palestina historis sebelum Nakba atau Bencana 1948, ketika ratusan ribu orang diusir dari rumah mereka selama berdirinya negara Israel. Komite tersebut mencatat bahwa saat ini, mereka hanya mencakup 1,2% dari populasi di Palestina historis dan hanya 1% di wilayah yang diduduki pada 1967.
Penurunan ini, menurut komite, merupakan akibat langsung dari pembersihan etnis Israel, pemindahan paksa, perampasan tanah, dan penindasan sistematis. Komite tersebut mengutip contoh-contoh termasuk pemindahan 90.000 umat Kristen Palestina selama Nakba dan penutupan paksa sekitar 30 gereja. (Anadolu/I-2)


















































