
SEJUMLAH aktivis 98 mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk segera meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya yang meragukan adanya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi dalam waktu 30 hari, mereka mengancam akan mengepung kantor Kementerian Kebudayaan.
"Kami sudah menyampaikan dengan tegas bahwa 30 hari ke depan jika tidak ada niat baik dari menteri kebudayaan menyampaikan secara terbuka minta maaf, kami akan melakukan aksi protes mengepung kantor Kementerian Kebudayaan. Seluruh provinsi akan melakukan hal yang serupa," kata Anggota Pena 98, Mustar Bona Ventura, di Jakarta dikutip Metro TV, Rabu (18/6).
Tak hanya menuntut permintaan maaf, para aktivis juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menegur atau bahkan memberhentikan Fadli Zon dari jabatannya. "Presiden Prabowo harus berani menegur, bahkan memberhentikan menteri yang asal ngomong, asal omon-omon, tidak dipikirkan," ujarnya.
Ia menilai pernyataan Fadli tidak hanya kontradiktif, tetapi juga menyakitkan bagi para korban. Menurut Mustar, demokrasi dan reformasi saat ini merupakan hasil dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan, termasuk tragedi 1998.
"Sepahit apapun sejarah itu tidak boleh kita hilangkan, sebaik apapun peristiwa pada tahun 98 tidak boleh kita kecilkan, kita hilangkan atau bahkan kemudian kita hapus, ini yang menurut saya menyakitkan," kata dia.
"Pernyataan seorang menteri kebudayaan seharusnya adalah negara mampu menunjukkan siapa pelaku, siapa orang yang melakukan pemerkosaan terhadap peristiwa 98, ini kan justru kontradiktif," lanjutnya.
Selain itu, para aktivis mengkaji kemungkinan langkah hukum terhadap Fadli Zon. Mereka sedang mempelajari pasal-pasal yang relevan dan potensi delik hukum dari pernyataannya.
"Itu sedang kami pikirkan, sedang kami pertimbangkan pasal berapa, undang undang mana yang dia langgar, terus kemudian akan kita kaji. Kami akan liat bahwa kalau memang itu ada delik hukum kami akan masuk ke ranah hukum," kata juru bicara Aliansi 98, Jimmy Fajar.
Fadli Zon Buka Suara
Menanggapi polemik tersebut, Fadli Zon akhirnya buka suara pada Senin (16/6). Fadli Zon mengatakan peristiwa 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya pemerkosaan massal.
Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Menurutnya, hal itu perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998.” ungkap Fadli Zon dalam keterangan resmi.
“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” sambungnya.
Respons Istana
Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, tidak menjawab secara langsung apakah Presiden Prabowo menaruh perhatian terhadap pernyataan kontroversial Fadli Zon soal peristiwa pemerkosaan massal Mei '98. Namun, ia menyebut pemerintah terbuka terhadap kritik dan masukan, terutama terkait penulisan sejarah.
"Kalau ada kritik dan masukan silakan, tapi kalau hanya pergunjingan-pergunjingan di media sosial ya, citra-citra negatif yang seperti yang Anda sebutkan, apalagi dari orang-orang yang kalau dia mengerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah," kata Hasan, Senin (16/6). (MetroTV/P-4)