Akademisi Ingatkan Potensi Eksploitasi Anak di Balik Pembangunan Ponpes Al-Khoziny

4 weeks ago 25
Akademisi Ingatkan Potensi Eksploitasi Anak di Balik Pembangunan Ponpes Al-Khoziny Bangunan ambruk di Ponpes Al-Khoziny.(Antara.)

FENOMENA santri ikut bekerja dalam proyek pembangunan pondok pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo menuai sorotan publik. Aktivitas pengecoran yang melibatkan anak di bawah umur dinilai berpotensi menjadi bentuk eksploitasi atas nama pengabdian dan tradisi gotong royong.

Isu ini mencuat setelah insiden robohnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny beberapa waktu lalu. Di media sosial, beredar kembali video santri yang ikut melakukan pekerjaan konstruksi tanpa perlengkapan keselamatan.

Akademisi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), M. Febriyanto Firman Wijaya, menilai bahwa praktik tersebut tidak bisa dibiarkan dengan alasan tradisi atau kebersamaan.

“Ketika santri yang masih di bawah umur dilibatkan tanpa pelatihan, perlengkapan K3, dan pengawasan profesional, itu bukan lagi pengabdian, melainkan pelanggaran etika dan hukum,” tegas Febriyanto dalam keterangannya, Selasa (7/10).

Ia menjelaskan, sejak lama pesantren memang dikenal sebagai ruang pembentukan karakter berbasis kebersamaan. Dalam konteks itu, partisipasi santri dalam pembangunan fasilitas pesantren sering dianggap sebagai wujud rasa memiliki (sense of belonging).

“Santri merasa memiliki tanggung jawab terhadap fasilitas yang mereka gunakan. Keringat dan tenaga yang mereka curahkan menjadi bagian dari sejarah dan ruh pesantren,” ujarnya.

Namun, Febriyanto menilai romantisasi tradisi itu bisa berbahaya bila mengabaikan keselamatan jiwa dan hak anak. Ia mengingatkan bahwa pekerjaan konstruksi seperti pengecoran beton termasuk pekerjaan berisiko tinggi.

“Kita bicara pekerjaan di ketinggian, mengangkat beban berat, hingga ancaman kegagalan struktur. Itu bukan kegiatan yang bisa dilakukan sembarangan, apalagi oleh anak-anak,” kata dia.

Ia juga mengingatkan bahwa semangat gotong royong tidak boleh bergeser menjadi kewajiban yang membebani santri.

“Partisipasi santri seharusnya murni sukarela dan sesuai kapasitas. Jika keterlibatan itu menjadi kewajiban, hukuman, atau mengganggu kegiatan belajar, maka nilainya bergeser ke arah yang salah,” tegas Febriyanto.

Menurutnya, pembangunan pondok pesantren, terutama bagian struktur utama bangunan, semestinya menjadi tanggung jawab penuh tenaga profesional. Ia menilai, kualitas konstruksi tidak boleh dikompromikan demi efisiensi atau semangat swadaya.

“Keselamatan adalah hal utama. Gagal konstruksi bukan hanya kerugian materi, tapi juga bisa mengancam nyawa para santri,” ujarnya.

Lebih jauh, Febriyanto menyerukan perlunya transformasi dalam manajemen pembangunan pesantren agar tetap menjaga tradisi gotong royong tanpa mengorbankan prinsip kemanusiaan dan perlindungan anak.

“Pesantren bisa tetap melestarikan nilai pengabdian dalam bentuk aman, misalnya keterlibatan santri pada tahap persiapan atau kegiatan non-teknis. Tetapi untuk konstruksi inti, biarkan itu menjadi ranah profesional,” pungkasnya. (Dev/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |