Workshop Wartawan United Tractors, di Jakarta, Kamis (25/9).(Dok. MI)
HAMPIR tidak ada ruang kehidupan yang kini luput dari sentuhan kecerdasan buatan (AI). Mulai dari aplikasi pesan instan, media sosial, hingga platform pencarian informasi, semua telah memasukkan AI ke dalam sistemnya. Perubahan ini membawa dampak besar, termasuk bagi jurnalisme.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menyatakan AI menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Ia pun mengingatkan jurnalis agar tidak terjebak pada godaan kemudahan dan tetap menjaga disiplin verifikasi.
“Penggunaan AI masuk dan meresap hampir di seluruh sektor masyarakat. Bahkan platform-platform messenger seperti WhatsApp ada AI-nya, kita masuk ke media sosial juga ada fitur-fitur AI,” kata Nezar dalam Workshop Wartawan United Tractors, Kamis (25/9).
Menurut Nezar, disrupsi terbesar yang dialami media terjadi ketika audiens sepenuhnya beralih ke platform digital. “Industri media kita hilangkan audience hari ini. Kita tidak lagi mengontrol audience kita,” ujarnya.
Nezar menegaskan, kehadiran AI mempercepat dominasi platform digital atas industri media. Jika dulu media massa menjadi pengendali penuh distribusi informasi, kini algoritma mesin pencarian dan media sosial yang menentukan apa yang dibaca publik.
Dalam kondisi tersebut, posisi media rentan semakin terpinggirkan. “Kalau kita bicara di landscape digital hari ini, semua workshop, conference, apapun selalu dengan AI,” ucap Nezar.
Meski begitu, ia menekankan bahwa jurnalisme memiliki modal utama yang membedakannya dari konten amatir, yakni disiplin verifikasi. “Kalau kita bicara jurnalisme, yang membedakan kita dengan citizen journalism adalah disiplin verifikasi,” katanya.
Dengan kondisi ini, Nezar juga menegaskan bahwa industri media dituntut menemukan model bisnis baru agar bisa bertahan. Beberapa media global seperti New York Times bertransformasi menjadi tech company dengan mengandalkan langganan digital. “Namun tidak semua media mampu. Hubungan dengan platform tetap timpang,” ungkapnya.
Ia juga mengungkap upaya sejumlah media internasional membentuk koalisi untuk melindungi konten dari perayapan data oleh mesin AI dan memberi penanda pada berita asli agar otentisitasnya terjamin.
“Teknologi itu mudah, tapi jurnalisme membutuhkan kesetiaan, keteguhan, dan disiplin verifikasi yang hanya bisa dijalankan oleh profesional,” ucapnya.
Nezar menambahkan, pemerintah pun tengah menyiapkan regulasi agar pemanfaatan AI tidak menimbulkan kerugian bagi publik maupun ekosistem media. “Kita tidak bisa menolak AI, tapi kita bisa mengatur penggunaannya,” pungkas dia.
Pada kesempatan itu, Pakar Digital Forensik Indonesia Ruby Alamsyah mengingatkan bahwa meski seringkali mempermudah, penggunaan AI membawa konsekuensi serius terhadap keamanan data, terutama bagi kalangan jurnalis yang kerap bekerja dengan informasi sensitif.
Ia pun mengingatkan agar wartawan berhati-hati dalam memasukkan data ke dalam sistem AI. “Apapun yang kita input ke generatif AI direkam, disimpan, dan diolah oleh mereka. Data sensitif investigasi teman-teman media itu bisa saja leak, bisa saja bocor, bisa saja terekspos,” katanya.
Menurut Ruby, ada anggapan keliru yang berkembang di masyarakat bahwa AI bisa memberikan kebenaran absolut. Padahal, kata dia, AI hanyalah sistem yang menyajikan hasil olahan data, bukan fakta yang sudah diverifikasi. “Selalu perlakukan output AI sebagai sumber, bukan fakta secara langsung,” tegasnya.
Bagi kalangan industri, AI justru dipandang sebagai keniscayaan. Direktur United Tractors Ari Sutrisno menyebut bahwa teknologi ini sudah menjadi bagian dari aktivitas manusia sehari-hari, mulai dari urusan pendidikan hingga pekerjaan.
Ia menambahkan, transformasi digital di dunia industri sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. United Tractors, misalnya, memulai proyek big data sejak 2017. “Digitalisasi ini merupakan movement yang luar biasa,” katanya.
Meski menghadapi tantangan besar, kolaborasi antara media, pemerintah, dan industri diyakini dapat memperkuat daya tahan jurnalisme. Ari Sutrisno menilai, sinergi ini perlu dijaga agar media tetap bisa menjalankan peran kontrol sosial.
“AI sudah menjadi bagian hidup, tapi jurnalis punya tanggung jawab lebih. Saya percaya kolaborasi bisa menjaga agar media tetap relevan,” katanya. (H-3)


















































